Tanaman Nilam
PENDAHULUAN
Tanaman nilam (Pogostemon
cablin Benth) merupakan salah satu tanaman penghasil minyak atsiri yang cukup
penting, dikenal dengan nama Patchouly Oil. Minyak nilam bersama dengan 14
jenis minyak atsiri lainnya adalah komoditi ekspor menghasilkan devisa. Minyak
nilam Indonesia sudah dikenal dunia sejak 65 tahun yang lalu, volume ekspor
minyak atsiri selalu mengalami peningkatan, tahun 2001 mencapai 5.080 ton
dengan nilai US $ 52,97 juta atau 4,4% nilai perdagangan minyak atsiri dunia,
Indonesia pemasok utama minyak nilam dunia (90%).
Sementara kebutuhan dunia
berkisar 1.200 ton/tahun dengan pertumbuhan sebesar 5%. Sebagai komoditi
ekspor, minyak nilam mempunyai prospek yang cukup baik, karena permintaan akan
minyak nilam sebagai bahan baku industri parfum, kosmetik, sabun, dan lainnya
akan terus meningkat. Fungsi minyak nilam dalam industri parfum adalah untuk
mengfiksasi bahan pewangi dan mencegah penguapan sehingga wangi tidak cepat
hilang, serta membentuk bau yang khas dalam suatu campuran (Ketaren, 1985), hal
ini menyebabkan minyak nilam mutlak diperlukan dalam industri parfum. Walaupun
tanaman nilam sudah lama diperdagangkan dan merupakan sumber mata pencaharian
petani nilam, namun sampai sekarang budidaya nilam masih berbentuk perladangan
berpindah-pindah. Dengan pola budidaya berpindah-pindah ini biaya pemeliharaan
lebih murah karena tanpa pemupukan dan produksinya lebih stabil.
Pada tanah bukaan barumemiliki
ketersediaan hara, bahan organik dan meneral yang cukup. Tetapi membiarkan pola
pengembangan tanaman nilam secara berpindah-pindah ini, akan mengakibatkan
petani selalu membuka hutan untuk perladangan baru yang akhirnya menyebabkan
kerusakan lingkungan. Sebagai gambaran perkembangan perluasan tanaman nilam di
Indonesia rata-rata mencapai 150 ha per tahun, ini berarti terjadi kerusakan
lingkungan seluas tersebut diatas setiap tahun oleh penanam nilam saja. Selain
itu akibat kebiasaan lading berpindah-pindah, petani tidak akan pernah berfikir
untuk memiliki alat penyulingan sendiri, karena dalam penyulingan memerlukan
sumber air yang baik dan kontinu. Sementara itu, melihat fluktuasi harga minyak
nilam dan ternanya yang sangat besar, menyebabkan pendapatan petani yang hanya
menjual bahan berangkasan akan rendah sekali, pendapatan petani akan dapat
ditingkatkan kalau menjual dalam bentuk minyak nilam hasil suling, baik secara
perorangan maupun berkelompok.
Di daerah pengembangan seperti
di Majalengka Jawa Barat, Jawa Timur, dan Kalimantan Tengah petani telah
melakukan budidaya tanaman nilam secara menetap artinya petani tidak melakukan
bukaan lahan baru untuk menaman nilam, tetapi telah menanam nilam di satu lahan
secara bergilir dan menetap, namun mutu nilam yang dihasilkan masih rendah
seperti PA (Patchouly Alkohal) yang hanya mencapai 30 sementara di
daerahasalnya dapat mencapai 42. Oleh sebab itu tantangan yang dihadapi dalam
budidaya nilam adalah upaya mengubah pola berladang berpindah menjadi pola
budidaya menetap dengan mutu minyak yang tinggi. Teknologi untuk menunjang pola
budidaya nilam secara menetap sudah tersedia, perinsipnya adalah mengkondisikan
lahan pertanamannilam sama dengan lahan bukaan baru (virgin soil),
mempertahankan kesuburan tanah, menanam nilam di daerah yang sangat sesuai dan
sesuai, bahan tanaman yang baik, dan perbaikan teknik budidaya serta pasca
panen (pengolahan).
Tulisan ini menguraikan
beberapa aspek yang mendukung pengembangan tanaman nilam secara menetap dan
berwawasan agribisnis, sehingga dapat menahan lajunya pembukaan hutan,
meningkatkan pendapatan petani nilam, dan meningkatkan produktifitas dan
kualitas minyak nilam Indonesia.
BUDIDAYA
TANAMAN NILAM SECARA MENETAP
Ketersediaan
teknologi
Kesesuaian
lahan dan iklim
Tanaman nilam dapat tumbuh,
pada ketinggian 0 – 1.500 meter di atas permukaan laut, dengan curah hujan
2.500 – 3.000 mm per tahun penyebaran merata sepanjang tahun. Suhu udara antara
24 – 28oC dengan lengas nisbi yang tinggi di atas 75% (Tasma dan Hamid, 1990.
Werkhoven dalam Tasma dan Hamid, 1990) menyatakan nilam dapat diusahakan pada
daerah bercurah hujan rendah (1.750 – 2.000 mm/tahun) dengan pemberian naungan
dan mulsa.
Membudidayakan nilam tidaklah
sulit, tanaman nilam bisa dikembangkan di lahan apa saja, seperti pekarangan,
sawah, kebun, dan tegalan. Namun untuk mendapatkan produktifitas yang tinggi,
tanaman nilam memerlukan lapisan tanah yang dalam, subur, kaya humus,
berstruktur gembur, dan drainase yang baik. Tanaman nilam yang diusahakan di
dataran rendahmempunyai kandungan minyak lebih tinggi dari pada di dataran
tinggi, sebaliknya mengandung “patchoully alkohol” yang rendah. Tanah dengan
kandungan bahan organik yang tinggi dapat memberikan hasil yang lebih baik,
sedangkan yang tergenang air, atau air tanah yang dangkal, kelembaban yang
tinggi, mendorong penyakit baik cendawan phytophtora sp maupun bakteri
menyerang tanaman nilam, untuk itu diperlukan parit-parit drainase.
Tanaman nilam respon terhadap
naungan, nilam yang ditanam di bawah naungan mempunyai daun lebih lebar dan
tipis dengan warna kehijauan, tetapi mempunyai rendemen minyak yang rendah,
sebaliknya yang ditanam dilahan terbuka, pertumbuhan tanaman kurang rimbun
dengan habitus yang lebih kecil, daun lebih tebal, dan berwarna
kekuning-kuningan sedikit merah, namun mempunyai rendemen minyak yang tinggi
(Mansur dan Tasma 1987).
Mengenal kebutuhan optimal
tanaman terhadap kondisi iklim dan lahan adalah langkah awal untuk
pengembangkan tanaman secara profesional. Rosman et al., (1998), telah
mengkarakterisasi berbagai kondisi iklim dan lahan, untuk tanaman nilam dalam
bentuk kesesuaian lahan dan iklim. Kesuaian lahan dan iklim yang sangat sesuai
adalah sebagai berikut :
Ketinggian
100 – 400 dpl, jenis tanah andosol dan latosol, drainase baik, tekstur lempung,
kedalam air tanah > 100 m, pH 5,5 – 7, C-Organik 2 – 3%, P2O5 16 – 25 ppm,
K2O > 1,0 me/100mg, KTK > 17 me/100mg, curah hujan 2.300 – 3.000 mm/thn,
hari hujan 120 – 180 hari per tahun, bulan basah > 9 bulan, kelembaban 70 –
90% dan temperature 26oC. Menanam
tanaman nilam pada daerah yang sangat sesuai akan megurangi biaya usahatani,
sehingga pendapatan petani menjadi lebih baik.
Bahan
tanaman
Tanaman nilam merupakan
penghasil minyak atsiri, yang lebih mengutamakan mutu daripada kuantitas
produksi. Untuk tanaman yang demikian, peran mutu genetic lebih dominan dari
pada mutu fisiologis dalam menunjang nilai hasil produksi. Tanaman nilam
umumnya dikembangkan secara vegetatif, yaitu dengan mempergunakan
potong-potongan cabang.
Bibit yang baik untuk ditanam
harus berasal dari induk yang sehat, berasal dari bahan tanaman jenis unggul
dan dijamin terbebas dari kontaminasi hama dan penyakit utama, karena hal ini
dapat menggagalkan panen sampai 100%. Mutu fisiologis yang baik untuk setek
nilam berperan dalam penghematan biaya produksi bila persentase setek hidup
cukup baik. Mutu fisiologis setek yang rendah dapat pula mempengaruhi hasil
panen karena tingkat kesuburan dan pertumbuhan tanaman tidak merata (Rumiati et
al., 1998). Dalam upaya meningkatkan mutu bibit, telah dikembangkan penggunaan
bibit yang telah diakarkan lebih dahulu (Tasma, 1989) serta penggunaan setek
pendek (Sufiani et al., 1997).
Dengan penggunaan teknik
tersebut pemakaian bahan tanaman lebih hemat, pertumbuhan bibit cepat dan
keberhasilan pertumbuhan di lapangan lebih tinggi. Perbanyakan tanaman dapat
juga melalui setek pucuk. Setek pucuk diambil yang mempunyai 5 pasang daun, dua
pasang daun termuda dibuang. Setek yangmempunyai tiga pasang daun ini, setiap
helai daun ditinggalkan separoh (dipotong) lalu setek ditanam di bak pasir.
Sebelum ditanam setek direndam dalam zat pengatur tumbuh NAA 500 ppm, selama 30
menit. Selama pertumbuhan kondisi persemaian dijaga tetap lembab dengan
menyiran 2 – 3 kali sehari disungkup dengan plastik. Selama 2-3 minggu setek
sudah mulai keluar akar.
Pada umur satu bulan setek
sudah bisa dipindah ke polibag berisi campuran tanah dan pupuk kandang yang
telah matang (1 : 1), dan dipelihara di bawah naungan dan disiram. Setelah 1 –
1,5 bulan dalam polibag, bibit sudah cukup kuat untuk ditanam ke lapangan
(Sufiani dan Hobir, 1998). Tanaman induk yang subur, dan telah berumur 6 – 12
bulan, pucuknya dapat disetek setiap dua bulan, sehingga dengan cara ini factor
multiplikasi dapat meningkat menjadi 1 : (40-60) per bulan, meningkat sekitar 3
kali lipat dari cara perbanyakan melalui setek batang atau cabang (Rumiati et
al., 1998). Saat ini telah tersedia beberapa jenis bahan tanaman (klon) seperti
klon No. 0003, 0007,0011 dan 0013. Klon tersebut akan segera dilepas. Selain
itu tersedia juga beberapa klon harapan hasil somaklonal yang sedang
dimantapkan penelitiannya.
Teknik
budidaya Mempertahankan kesuburan tanah
Tanaman nilam termasuk tanaman
yag memerlukan hara yang cukup tinggi (Wahid et al., 1986). Hasil analisis
kadar hara dari batang dan daun yang dipanen menunjukan bahwa kandungan N,
P2O5, K2O, CaO, dan MgO mencapai masing-masing 5,8%, 4,9%, 22,8%, 5,3% dan 3,4%
dari bahan kering atau sama dengan pemberian pupuk 232 kg N, 196 kg P2O5, 912
kg K2O, 212 kg CaO dan 135 kg MgO. Hal ini menunjukan bahwa untuk
mempertahankan produksi agar tetap optimal pemberian pupuk sangat menentukan,
apalagi kalau ditanam secara menetap.
Tanpa pemupukan produksi
selanjutnya akan menurun secara drastis dan masa panen akan lebih pendek. Hasil
percobaan yang dilakukan di Kebun Bangun Purba (Sumatera Utara) pada tanah
podsolik coklat kemerahan (dengan kadar N, dan Ptanah termasuk rendah dan kadar
K termasuk cukup dan pH = 6,0) menunjukkan bahwa pemupukan dengan 120 kg N + 80
kg P2O5 + 100 kg K2O dapat menghasilkan terna kering 4058 kg (pada umur tanaman
4 bulan setelah tanam) produksi meningkat 275% (Adiwiguna et al., 1973).
Hasil penelitian yang dilakukan
pada tanah latosol merah kecoklatan dengan kandungan hara tanah N, P, K, Ca dan
Mg (rendah) dan C-organik (sedang) pH = 4,4. Dengan pemberian 280 kg Urea + 70
kg TSP +140 kg KCl/ha, produksi terna dan minyak meningkat masing-masing 64 dan
77%. Dengan peningkatan pupuk dua kali lipat dosis di atas yaitu 560 kg Urea +
140 kg TSP + 280 kg KCl/ha produksi terna dan minyak, naik menjadi
masing-masing 98,4% dan 77%.
Bila erlakuan tersebut ditambah
mulsa, maka peningkatan produksi terna dan minyak, masing-masing mencapai 159 –
286% dan 182 – 286% (Tasma dan ahid, 1988).
Penggunaan mulsa secara nyata
dapat meningkatkan produksi dan kualitas terna dan minyak. Keadaan ini
disebabkan karena mulsa dapat menambah bahan organik dalam tanah melalui
pelapukan. Jelas bahwa pemberian mulsa (semak, belukar, ampas penyulingan,
jerami palawija,dan ampas sagu dan lain-lain) dalam budidaya nilam menunjukkan
harapan untuk mengkondisikan lahan kembali ke satatus kualitas virgin soil,
kondisi mana sangat diperlukan oleh tanaman nilam dan dapat meningkatkan
efisiensi produksi.
Dengan catatan, jangan
memberikan mulsa dari semak belukar yang sedang berbunga, sebab dapat tumbuh
gulma di sekitar tanaman. Penggunaan mulsa alang-alang mampu meningkatkan
produksi daun dan minyak masingmasing 159,6% dan 181,7%. Mulsa belukar
meningkatkan produksi sebesar 286,5%.
Bercocok
tanam nilam
Persiapan
lahan
Persiapan lahan dilakukan
sebelum atau bersamaan dengan persiapan pembibitan, agar penanaman di lapangan
dapat dilakukan bersamaan dengan tersedianya bibit (umur bibit 1 – 1,5 bulan).
Pengolahan tanah sebaiknya dilakukan secara intensif tidak seperti budidaya
berpindahpindah, agar diperoleh kondisi tanah yang gembur dan bebas gulma. Pada
saat pengolahan tanah dibuat juga paritparit drainase agar air tidak mudah
tergenang, air yang tergenang menyebabkan tanaman nilam mudah diserah
hama/penyakit. Untuk lahan miring, parit-parit dibuat searah dengan garis
kontur, guna menghindari terjadinya erosi.
Jarak
tanam
Jarak tanam akan menentukan
populasi tanaman dan luas permukaan daun yang aktif melakukan fotosintesa
sehingga akan mempengaruhi kompetisi tanaman dalam penggunaan cahaya, air dan
unsur hara, kerapatan yang tinggi kompetisi akan tinggi dibandingkan dengan
yang lebih jarang. Jarak tanam yang edeal adalah sesuai bagi perkembangan
tanaman bagian atas serta tersedianya ruang bagi perkembangan perakaran dalam
tanah.
Jarak tanam yang umum dipakai
yaitu 75 – 100 cm antar baris dan 50 – (75 – 100) cm dalam baris.
Pada lahan datar dan subur
dapat digunakan jarak tanam yang lebih lebar misalnya 100 x 100 cm, sedangkan
dilahan miring jarak tanam yag digunakan lebih sempit misalnya 50 x 75 cm atau
75 x 75 cm. Kebutuhan bibit tergantung dengan jarak tanam ini.
Penanaman
Penanaman dapat dilakukan
dengan menanam setek langsung dilapang atau dengan mempersiapkan bibit
dipolybag lebih dahulu bersamaan dengan persiapan lahan, setelah tumbuh baru
dilakukan penanaman di lapangan. Penanaman setek secara langsung memerlukan
penyiapan jumlah bahan setek yang cukup besar (2 – 3 setek/lobang), karena
resiko kematian cukup tinggi terutama bila curah hujan rendah/minimum.
Pembuatan lubang dengan cara dicangkul, sesuai dengan jarak tanam. Seminggu
sebelum bibit ditanam, lubang diberi kompos dari ampas daun nilam yang telah
diambil minyaknya.
Tiap lobang tanam ditancapkan 1
– 2 setek untuk setek langsung, dan satu bibit untuk bibit yang telah
dtumbuhkan. Setelah tanam tanah disekitar tanaman dipadat, agar bibit tidak
mudah rebah. Satu bulan setelah setek ditanam, tunas-tunas baru sudah mulai
tumbuh.
Pemeliharaan
Nilam memerlukan pemeliharaan
yang intensif terutama pada awal pertumbuhan dan setelah panen. Pemelihaharan
yang dilakukan berupa penyulaman tanaman yang mati, penyiangan, pembumbunan,
pemangkasan, pemupukan dan pemberian mulsa. Pemberian pupuk dan mulsa sangat
penting sekali dilakukan terutama setelah panen pertama (umur 6 bulan),
tujuannya guna merangsang pertumbuhan tunas-tunas baru. Sedangkan pemangkasan
dilakukan apabila tanaman tumbuh sangat subur dimana perkembangan kanopinya
sangat lebar, yang menyebabkan tanaman saling menutupi, sehingga kekurangan
cahaya matahari dan lembab, kondisi ini akan mengundang penyakit.
Pergiliran tanaman dilakukan
setiap selesai satu siklus pertanaman nilam, yaitu dengan menggunakan
tanaman-tanaman yang sesuai dan berfungsi ganda, selain berfungsi memotong
siklus hama dan penyakit juga dapat memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi
tanah. Upaya pencegahan serangan hama dan penyakit, dilakukan sejak evaluasi
kesesuaian lahan untuk tempat areal pertanaman, pemilihan bahan tanaman,
tindakan pemupukan dan melakukan aspek-aspek lain yang dapat mencegah
berkembangnya serangan hama dan penyakit yang sekaligus merupakan syarat-syarat
untuk pembudidayaan nilam secara menetap.
Polatanam
tanaman nilam
Umumnya tanaman nilam
diusahakan secara monokultur, namun dapat juga ditanam secara tumpangsari
dengan tanaman lain, seperti dengan tanaman palawija (jagung, cabe, terung, dan
lainnya). Selain dengan tanaman palawija, nilam dapat di polatanamkan dengan tanaman
tahunan seperti diantara kelapa, kelapa sawit, karet yang masih berumur muda,
karena tanaman nilam masih berproduksi dengan baik pada intensitas cahaya
minimum 75%.
Polatanam ini akan memberikan
keuntungan antara lain, menekan biaya operasional terutama biaya pemeliharaan,
mengurangi resiko terjadi penurunan harga, kegagalan panen akibat serangan
hama/penyakit, curah hujan yang sangat tinggi atau kekeringan, dan meningkatkan
produktivitas tanah oleh hasil tanaman sela. Selain itu bila limbah padat nilam
hasil penyulingan dikembalikan ke lahan, dimana limbah padat ini masih
mempunyai aroma dan bau khas, maka limbah ini akan berfungsi sebagai penolak
serangga (insect repelen), sehingga tanaman selanya terhindar dari serangan
hama. Dari hasil penelitian polatanam menunjukan bahwa nilam, dapat di
polatanamkan dengan jagung atau nilam + kacang tanah atau nilam + kedele, atau
nilam + kacang hijau, atau nilam + jagung + kacang tanah. Pada prinsipnya
hampir semua tanaman dapat ditumpang sarikan dengan nilam asal ; 1) tidak
menimbulkan persaingan dalam hal penyerapan unsur hara, air, dan cahaya
matahari, 2) tidak merupakan sumber hama/penyakit bagi tanaman nilam sebaiknya
yang saling menguntungkan. Oleh sebeb itu waktu dan jarak tanaman antara sesama
tanaman pokok dan antara tanaman pokok dengan tanaman sela harus diperhitungkan
dengan cermat. Polatanam nilam dapat juga dilakukan dengan pergiliran tanaman/
rotasi, dimana setelah penanaman nilam 1 – 2 siklus, dilakukan pergiliran
tanaman dengan tanaman lain seperti legum, palawija yang tidak banyak menguras
usur hara, setelah itu kembali ditanami nilam. Pergiliran tanaman untuk nilam
sangat diperlukan, gunanya untuk mempertahankan kesuburan tanah, mengindari
efek alelopati dan memutus siklus hama/penyakit.
Panen
dan penanganan prapanen
Panen pertama dilakukan saat
umur tanaman 6 – 8 bulan, dan panen berikutnya dilakukan setiap 3 – 4 bulan
sampai tanaman berumur tiga tahun. Setelah itu sebaiknya tanaman diremajakan,
karena hasilnya sudah makin menurun. Panen sebaiknya dilakukan pada pagi atau
menjelang malam hari agar kandungan minyaknya tetap tinggi. Bila pemetikan
dilakukan siang hari, sel-sel daun sedang berfotosintesa sehingga laju
pembentukan minyak berkurang, daun kurang elastis dan mudah robek. Di samping
itu, pada siang hari transpirasi daun berlangsung lebih cepat sehingga jumlah
minyak yang dihasilkan berkurang. Panen sebaiknya dilakukan sebelum daun nilam
menjadi coklat Perkembangan kemerahan, karena daun yang berwarna
coklatkemerahan rendemen minyak sudah berkurang.
Kandungan minyak tertinggi
terdapat pada 3 pasang daun termuda yang masih berwarna hijau. Alat untuk panen
bisa dipergunakan sabit dengan cara memangkas tanaman pada ketinggian 15 – 30
cm dari permukaan tanah. Ada baiknya kalau setiap kali panen ditinggalkan satu
tanaman tetap tumbuh untuk merangsang tumbuhnya tunas-tunas baru pada fase
selanjutnya.
Cara panen yang lain dapat
dengan memungut daun dan ranting memakai ani-ani tidak dengan sabit, dengan
cara ini jarak waktu panen selanjutnya menjadi lebih pendek hanya setiap 2
bulan. Hasil pangkasan dipotongpotong sepanjang 3 – 5 cm kemudian dijemur
selama 1 – 2 hari atau dijemur 5 jam dan dikering anginkan selama 2 – 3 hari
untuk mengurangi kadar airnya sampai 15%. Tebal lapisan penjemuran sekitar 50 cm
dan harus dibalik 2 – 3 kali sehari.
Daun yang telah cukup kering
dapat disimpan atau dilakukan penyulingan. Hindari pengeringan yang terlalu
cepat atau terlalu lambat. Pengeringan yang terlalu cepat membuat daun menjadi
rapuh dan sulit disuling. Kalau terlalu lambat seperti musim hujan, daun
menjadi lembab dan mudah terserang jamur, hingga redemen dan mutu minyak yang
dihasilkan rendah.
Produksi
Produksi tanaman nilam
tergantung sekali pada jenis/varitas yang ditanam, keadaan tanah, pertumbuhan
tanaman. Produksi yang baik dapat mencapai 15 – 20 ton daun basah atau 5 ton
daun kering per ha. Dengan rendemen minyak 2,5 – 4%, sehingga produksi minyak
mencapai 100 – 200 kg/ha/tahun.
Analisa
ekonomi budidaya nilam secara menetap
Budidaya tanaman nilam secara
berpindah–pindah selama ini dianggap lebih menguntungkan, karena tidak
membutuhkan pemupukan. Ternyata budidaya tanaman nilam secara menetap apabila
dilakukan sesuai dengan semestinya juga sangat menguntungkan, karena
produksinya dapat mencapai 2 – 3 kali lipat budidaya berpindah-pindah.
Dengan produksi 5 ton daun
kering/ha/tahun, dan harga Rp. 2.000,-/kg, hasil penjualan daun kering sebesar
Rp. 10.000.000,-, dengan biaya sebesar Rp. 7.735.000,- pada tahun pertama, yang
terdiri dari biaya sewa lahan, bibit, pupuk, pestisida, dan tenaga kerja.
Maka pendapatan petani sebesar
Rp. 1.265.000,-/ha/tahun pada tahun pertama. Pada tahun ke II dan ke III, biaya
usahatani hanya sebesar Rp. 1.150.000,-, sehingga pendapatan petani pada tahun
Ke II dan Ke III mencapai masing-masing Rp. 8.850.000,-/tahun. Pendapatan yang
diterima petani akan lebih besar dari angka di atas apabila biaya tenaga kerja
(tenaga kerja keluarga), sewa lahan dan bibit tidak dibayarkan. Bagi petani
yang sekaligus menjadi pengrajin, mempunyai alat suling sendiri dan menjual
dalam bentuk minyak, hasil penjualan dapat mencapai Rp. 40.000.000,-/ha/tahun
(dengan harga minyak Rp. 200.000,- dan produksi minyak 200 kg/ha), dengan biaya
investasi hanya Rp. 8.725.000,- yang terdiri dari peralatan, unit penyulingan
dan kompor, serta biaya operasional sebesar Rp. 3.139.000,- yang terdiri dari
penyusutan alat, penyusutan suling, kompor, upah penyulingan dan BBM.
KESIMPULAN
Hasil penelitian membuktikan
bahwa tanaman nilam mengangkut unsur hara yang cukup tinggi setiap panen,
mengakibatkan lahan semakin miskin akan unsur hara, hal ini merupakan salah
satu penyebab budidaya berpindah-pindah.
Budidaya nilam menetap yang
telah dilakukan di daerah pengembanganpun belum memperlihatkan hasil dengan
mutu yang baik Selain menanam nilam di daerah yang sesuai dan sangat sesuai,
hal yang sangat penting dilakukan adalah menjaga dan mempertahankan kesuburan
tanah, unsur hara yang terangkut panen, perlu dikembalikan, baik dengan
pemupukan anorganik maupun dengan pupuk organic (mulsa).
Penambahan mulsa alangalang
atau mulsa semak belukar dapat meningkatkan produksi nilam (daun) antara 159,6%
– 286,5%. Hasil ini menunjukan bahwa budidaya tanaman nilam secara menetap
sangat mungkin dilaksanakan, dengan rinsip mengkondisikan lahan pertanaman
nilam sama dengan lahan bukaan baru (virgin soil). Guna mengurangi resiko
kegagalan panen dan fluktuasi harga, serta untuk meningkatkan produktivitas
lahan, sebaiknya pengembangan nilam dilakukan dengan polatanam, baik
tumpangsari maupun sebagai tanaman sela.
Dalam polatanam ini yang perlu
diperhatikan antara lain, waktu tanam dan jarak tanam, baik antar tanaman pokok
maupun antara tanaman pokok dengan tanaman sela. Setiap selesai satu siklus
pertanaman untuk mencegah akumulasi hama dan penyakit, dan juga dapat
memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah, satu siklus pertanaman nilam
hanya selama tiga tahun, kemudian dilakukan pergiliran tanaman, dan siklus
selanjutnya dilakukan pada tahun ke lima.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonymous, 1993. Efisiensi
usahatani tataniaga dan peningkatan mutu minyak atsiri (nilam, akar wangi,
serai wangi dan kenanga).
Laporan Penelitian ARMP, 1992 –
1993. Balitro (tidak diterbitkan). 48 hal.
Askarach, A., 2000. Pertumbuhan
dan hasil tumpangsari pada berbagai jarak tanam nilam dan populasi jagung.
Program Pasca Sarjana UGM,
Yogyakarta.
BPS., 1998. Statistik tanaman
nilam Balai Pusat Statistik Jakarta.
BPEN., 1993. Bayers Guide of
Indonesia. Badan Pengembangan Ekspor Nasional. Departemen Perdagangan RI.
Dhalimi, A. S. Rusli, Hobir dan
Emmyzar, 2000. Status dan Perkembangan Penelitian Tanaman Nilam.
Makalah utama pada gelar
teknologi pengolahan gambir dan nilam, 24 – 25 Januari 2000 di Padang. 4 hal.
Djazuli, M. dan Emmyzar, 1998.
Polatanam dalam monograf nilam. Monograf no. 5. Balai Penelitian Tanaman Rempah
dan Obat. Hal. 70 – 74.
Hasan, Z., 1994. Beberapa cara
budidaya nilam secara menetap di Pasaman – Sumatera Barat.
Pros. Seminar Penelitian
Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Sub Balittro Solok. Mulyodihardjo, S.,
1991.
Program pengembangan penanaman
atsiri di Sumatera. Prosiding Komunikasi Ilmiah Pengembangan Atsiri di
Sumatera, Bukittinggi, 31 – 8 – 1991.
Balittro Bogor.
Tasma, I dan A, Hamid, 1990.
Pembudidayaan nilam secara menetap.
Makalah pada Simposium I Hasil
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Minyak atsiri.
Buku VII (Tanaman Atsiri)
Puslitbangtri: 1076 – 1082.
Rusli, S. dan Hobir, 1990.
Hasil penelitian dan
pengembangan tanaman minyak atsiri Indonesia. Simposium I Hasil Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Industri. Puslitbangtri – Bogor.
Tasma, I dan P. Wahid, 1988.
Pengaruh mulsa dan pemupukan terhadap pertumbuhan dan hasil nilam.
Pember. Penelitian Tanaman 15
(1 – 2) : 34 – 41. Wahid, P., 1992.
Peningkatan intensitas tanaman
melalui tanaman sela dan tanaman campuran.
Prosiding Temu Usaha
Pengembangan Hasil Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Balittro, Bogor. hal 85
– 86.
Wahid, P., M. Pandji. L, E.
Mulyono dan S. Rusli, 1986.
Masalah pembudidayaan tanaman
nilam, seraiwangi dan cengkeh. Diskusi Minyak Atsiri V. 3 – 4 Maret 1986 di
Bogor. 36 hal.
Wikandi. E.A, Ariful Asman dan
Pasril Wahid, 1990.
No comments:
Post a Comment