karena
pertumbuhan jumlah penduduk masih tinggi. Hama dan penyakit adalah salah satu
kendala program peningkatan produksi padi. Kendala peningkatan produksi akan
semakin kompleks akibat perubahan iklim global.
Hama
dan penyakit padi merupakan salah satu cekaman biotik yang menyebabkan senjang
hasil antara potensi hasil dan hasil aktual, dan juga menyebabkan produksi
tidak stabil. Di Asia Tenggara hasil padi rata-rata 3,3 t/ha, padahal hasil
yang bisa dicapai 5,6 t/ha. Senjang hasil tersebut disebabkan oleh penyakit
sebesar 12,6% dan hama 15,2% (Oerke et al. 1994). Di
Indonesia, potensi hasil varietas padi yang dilepas berkisar antara 5-9 t/ha
(Suprihanto et al. 2006), sementara hasil nasional baru mencapai
rata-rata 4,32 t/ha (BPS 2001).
Luas
serangan hama dan penyakit padi berdasarkan kompilasi data Statistik Pertanian
IV (SP IV 2006) oleh Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, dalam kurun waktu
lima tahun terakhir adalah tikus 152.638 ha/th, penggerek batang 89.048 ha/th,
wereng coklat 26.542 ha/th, penyakit hawar daun bakteri 28.808 ha/th, penyakit
tungro 13.327 ha/th dan blas 9.674 ha/th. Estimasi kehilangan hasil padi oleh
hama dan penyakit utama mencapai 212.948 t GKP/musim tanam (Soetarto et
al. 2001). Oleh sebab itu, keenam hama dan penyakit penting ini perlu
mendapatkan prioritas penanganan. Kehilangan hasil tersebut jauh lebih rendah
dari estimasi hasil survei di daerah tropis Asia yang memperkirakan mencapai
37% (IRRI 2002).
Usaha
peningkatan produksi padi nasional secara berkelanjutan, khusus-nya melalui
peningkatan stabilitas hasil, masih berpeluang besar melalui: 1) penggunaan
sumber daya genetik untuk perbaikan ketahanan varietas tehadap hama dan
penyakit, 2) peningkatan peran musuh alami hama dan pernyakit sebagai agens
pengendali hayati, 3) pemanfaatan beragam spesies tanaman yang potensial sebagai
pestisida nabati yang efektif dan ramah lingkungan, 4) penyempitan kesenjangan
antara potensi hasil (hasil pada saat varietas dilepas) dengan hasil yang
dicapai petani, 5) penekanan kehilangan hasil prapanen oleh hama dan penyakit
masih di atas 15%, 6) peningkatan pemahaman epidemiologi penyakit dan ekologi
hama yang akan menghasilkan komponen teknologi baru pengendalian hama terpadu
(PHT).
Dalam
tulisan ini diuraikan dinamika hama dan penyakit tanaman padi yang menyebabkan
ketidakstabilan produksi padi, komponen teknologi pengendalian yang telah
dikembangkan, konsep dan implementasi PHT di Indonesia, dan insentif
(keuntungan) yang diperoleh dari penerapan PHT.
DINAMIKA HAMA DAN PENYAKIT
Populasi
hama dan patogen penyebab penyakit tanaman padi sangat dinamis karena potensi
genetik dan pengaruh lingkungan biotik dan abiotik. Pada dasarnya semua
organisme yang dalam keadaan terkendali tidak merugikan jika keseimbangan
ekologinya tidak terganggu.
Hama
dan penyakit tanaman berasal dari lokasi pertanaman atau datang (migrasi) dari
lokasi lain karena daya tarik tanaman padi. Pengetahuan tentang dinamika
populasi hama dan patogen penyakit adalah langkah pertama yang perlu ditempuh
untuk menentukan cara pengendalian yang efektif, efisien, dan ramah lingkungan.
Revolusi Hijau, Hama Penyakit
Tanaman Padi,
dan Lingkungan
dan Lingkungan
Revolusi
Hijau di Indonesia diawali oleh introduksi varietas padi unggul baru (VUB) IR5
dan IR8 yang responsif terhadap pemupukan, terutama nitrogen. VUB ini akan
menghasilkan gabah 2-3 kali lipat lebih tinggi dari hasil varietas lokal kalau
dipupuk urea pada takaran tinggi (200-300 kg urea/ha). Penanaman VUB berumur
genjah sampai sedang dan rakus terhadap pemupukan memfasilitasi peningkatan
intensitas tanam. Intensifikasi penanaman VUB secara terus-menerus mengalterasi
fisiko-kimia tanah dan iklim mikro. Maka, timbullah biotipe baru hama dan
patotipe baru patogen. Pengendaliannya lebih banyak menggunakan pestisida.
Brigade-brigade pengendali hama dan penyakit dibentuk di area Bimas untuk
menyemprot pestisida satu, dua, bahkan tiga kali dalam seminggu. Musuh alami
hama ikut punah karena aplikasi pestisida yang berlebihan. Modernisasi
teknologi mengakibatkan sistem produksi padi masuk ke dalam jebakan
kompleksitas pengelolaan hama yang tidak terbayangkan sebelumnya (Tri Pranadji et
al. 2005).
Intensifikasi
produksi padi sawah untuk meningkatkan produksi agar dapat memenuhi kebutuhan
beras yang terus meningkat ternyata menyebabkan degradasi lingkungan, antara
lain polusi air (residu pestisida) dan udara (emisi gas metan) (Balingtan
2008). Konsentrasi residu pestisida dan agrokimia lain telah diidentifikasi
pada perairan wilayah irigasi Jatiluhur (Fagi 2006) dan sentra-sentra produksi
lain. Balai Penelitian Lingkungan Pertanian telah menginventarisasi residu
pestisida di sentra-sentra produksi padi (Balingtan 2008). IRRI (1993) meneliti
secara sistematis residu pestisida dan dampaknya terhadap kesehatan petani di
Provinsi Laguna, Nueva Ecija, dan Quezon. Kesimpulan dari hasil penelitian itu,
adalah:
•
Residu nitrat ditemukan di dalam air sumur yang digunakan sebagai air minum;
konsentrasi nitrat masih di bawah konsentrasi maksimum yang diizinkan (10 ppm).
•
Perairan di Laguna mengandung residu carbofuran dan endosulfan; konsentrasi
residu pestisida tersebut lebih rendah di Nueva Ecija, karena petani
menggunakan pestisida tidak berlebihan.
Walaupun
residu pestisida di sentra-sentra produksi terdeteksi di perairan dan bahkan di
dalam butir beras di pasar-pasar induk, dampaknya terhadap kesehatan tidak dipelajari
secara jelas. Di sentra-sentra produksi padi di Filipina, di mana petani
menanam 2-3 kali padi dalam setahun, ditemukan bahwa (IRRI 1993):
•
dari 152 petani padi, mereka yang sering menggunakan pestisida untuk
mengendalikan hama menderita gangguan kesehatan dua kali lebih banyak dibanding
dengan yang jarang menggunakan pestisida (Gambar 1),
•
walaupun makin seringnya penyemprotan pestisida lebih menjamin keberhasilan
intensifikasi padi, tetapi biaya yang dikeluarkan untuk menyembuhkan kesehatan
itu lebih besar dari keuntungan yang diperoleh.
Selain
hama wereng coklat, wereng hijau, penggerek batang dan penyakit hawar daun
bakteri dan blas, hama tikus makin merajalela akibat modernisasi teknologi padi
sawah dan padi gogo. Dengan modernisasi teknologi, keter-sediaan pakan makin
memungkinkan reproduksi tikus meningkat dalam setahun.
Gambar
1. Perbandingan insiden penyakit yang diderita oleh petani yang
sering menggunakan pestisida dan yang jarang menggunakannya di Laguna, Nueva
Ecija dan Quezon, Filipina (IRRI 1993).
Faktor Penentu Dinamika Hama dan
Penyakit
Musim
Tanam
Pada
musim kemarau, hama dan penyakit padi yang umumnya timbul berdasar- kan tingkat
keparahannya adalah tikus, diikuti oleh penggerek batang, dan walang sangit.
Oleh karena itu, langkah-langkah pengendalian dititikberatkan pada hama tikus.
Pada
musim hujan, hama dan penyakit yang biasa timbul adalah tikus, wereng coklat,
penggerek batang, lembing batu, penyakit tungro, blas, hawar daun bakteri, dan
berbagai penyakit yang disebabkan oleh cendawan. Dalam keadaan khusus, hama dan
penyakit berkembang di luar kebiasaan tersebut. Misalnya pada musim kemarau
yang basah, wereng coklat dapat juga menjadi masalah bagi varietas rentan
(Hendarsih et al. 1999).
Stadia
Tanaman
Pada
periode bera, larva penggerek batang berada di dalam singgang dan adakalanya
singgang terinfeksi virus tungro, dan berbagai penyakit yang disebab-kan oleh
bakteri. Di dalam jerami bisa juga terdapat sklerotia dari beberapa penyakit
jamur. Tikus bisa berada di tengah-tengah tanaman lain atau bersembunyi di
tanggul irigasi. Pada lahan yang cukup basah, keong mas juga dapat ditemukan.
Semua hama dan penyakit pada saat bera bisa menjadi sumber hama dan penyakit
pada pertanaman berikutnya.
Di
persemaian dapat dijumpai tikus, penggerek batang, wereng hijau, bibit
terinfeksi tungro, dan telur siput murbai.Hama dan penyakit pada stadia
vegetatif adalah siput murbai, ganjur, hidrelia, tikus, penggerek batang,
wereng coklat, hama penggulung daun, ulat grayak, lembing batu, tungro,
penyakit hawar daun bakteri, dan blas daun. Pada stadia generatif biasanya ada
tikus, penggerek batang, wereng coklat, hama penggulung daun, ulat grayak,
walang sangit, lembing batu, tungro, penyakit hawar bakteri, blas leher dan
berbagai penyakit yang disebabkan oleh cendawan.
Budi
Daya Padi
Budi
daya tanaman padi dalam usaha peningkatan produktivitas mem-pengaruhi
keberadaan hama dan penyakit. Pengolahan tanah, pembersihan gulma dan singgang,
pemupukan berimbang, pengaturan jarak tanam, pengairan, dan pemeliharaan ikan
dapat mengurangi serangan beberapa hama dan penyakit padi. Pengairan berselang
selain meningkatkan hasil panen juga mengurangi serangan penyakit padi. Namun
bisa juga budi daya padi mempunyai pengaruh ganda yang berlawanan, yaitu pada satu
sisi meningkatkan hasil panen, di sisi lain merangsang perkembangan hama dan
penyakit. Introduksi varietas unggul di awal 1970 telah meningkatkan produksi
padi yang tinggi, tetapi ledakan wereng coklat pada dekade 70an diduga terjadi
karena adopsi varietas unggul yang peka terhadap wereng coklat dan responsif
terhadap pemupukan (Mochida et al. 1980). Demikian juga ledakan
penggerek batang padi putih pada dekade 90an, diduga disebabkan oleh luasnya
pertanaman IR64 dan penyimpangan iklim (Hendarsih et al. 2000).
Musuh
Alami
Pada
pertanaman padi banyak sekali organisme berguna yang dapat menekan populasi
hama dan patogen penyakit. Berbagai jenis laba-laba sangat berguna dalam
memangsa berbagai serangga hama (Widiarta et al. 2001). Selain itu
parasitoid berfungsi menekan peningkatan populasi hama serangga. Parasitoid
telur wereng coklat Anagrus spp. danOligosita spp.
berfungsi menekan ledakan wereng coklat secara alami. Selain itu di lapangan
terdapat bakteri antagonis yang dapat menekan cendawan penyakit hawar pelepah
daun (Sudir dan Suparyono 2000). Banyak entomopatogen yang secara tidak
disadari ikut mengendalikan serangga hama, dan dapat dibiakkan untuk
pengendalian secara hayati.
Tindakan
Pengendalian
Pengendalian
terhadap satu jenis hama dapat menimbulkan populasi yang asalnya tidak penting.
Ledakan ganjur di Pantai Utara Jatiluhur pada tahun 1970an diduga karena
gencarnya penyemprotan pestisida dari udara sejak 1968. Beberapa insektisida
ternyata sangat toksik terhadap banyak fauna, termasuk musuh alami yang
populasinya tertekan, sehingga populasi hama terus bertambah dan berubah
menjadi hama yang resisten terhadap insektisida yang bersangkutan. Beberapa
insektisida bukan saja berspektrum luas (broad spectrum) tetapi juga
memicu perkembangan populasi (resurjensi). Hal tersebut terjadi pada wereng
coklat, sehingga melahirkan Inpress No. 3 th 1986, tentang larangan 57 jenis
insektisida. Adopsi varietas tahan adalah cara pengendalian yang paling aman
terhadap lingkungan. Namun jika satu varietas tahan ditanam secara
terus-menerus pada areal luas yang akan menyebabkan perubahan biotipe hama atau
ras patogen penyakit. Untuk wereng coklat, perubahan biotipe menuju yang lebih
ganas berlangsung sangat cepat, sebab kebanyakan varietas tahan diatur oleh gen
monogenik. Tekanan terhadap populasi wereng sangat tinggi sehingga cepat
berubah menjadi biotipe yang lebih virulen. Wereng hijau cepat beradaptasi
dengan varietas baru sehingga dalam beberapa waktu musim tanam, varietas yang
semula tidak tertular tungro menjadi rentan tungro, karena sifat ketahanan yang
dimiliki adalah tahan wereng hijau. Varietas tahan blas cepat sekali menjadi
rentan, karena ras blas di lapang cepat berubah dan menyesuaikan diri dengan
varietas yang baru diintrodaksi. Luasnya pertanaman IR64 menyebabkan varietas
ini diinfeksi parah oleh bakteri hawar daun. Dengan demikian diketahui bahwa
pengendalian hama dan penyakit tidak bisa mengandalkan satu cara pengendalian.
Pola
Tanam
Pada
lahan beririgasi teknis, pengairan dapat diatur sehingga waktu tanam dapat
ditentukan dan waktu tanam menjadi serempak. Tanam serempak dapat mengurangi
serangan berbagai hama dan penyakit. Pengendalian tungro dengan waktu tanam
tepat dan pergiliran varietas tahan dapat diterapkan pada lahan pertanaman
serempak seperti di Sulawesi Selatan (Sama et al. 1991). Pada lahan
yang penanamannya tidak serempak, pertanaman musim hujan setelah kekeringan
paling rawan terhadap eksplosi hama dan penyakit, terutama setelah pertanaman
MK II. Hama dan penyakit yang berpotensi eksplosif pada musim hujan setelah
kekeringan adalah wereng coklat dan tungro. Kegagalan pengendalian tikus pada
dua musim tanam sebelumnya akan memperparah serangan tikus pada musim hujan.
Apabila dilakukan penanaman pada MK II maka akan terjadi akumulasi populasi.
Pada kondisi tersebut keberhasilan pengendalian tikus pada musim hujan (sebelum
MK I) berdampak terhadap keberhasilan pengendalian tikus pada MK I dan MK II,
kemudian berlanjut pada musim hujan. Jika pengendalian tikus pada awal musim
hujan sebelum kekeringan kurang baik, akan menyebabkan kegagalan berantai
sampai musim hujan setelah kekeringan.
Di
beberapa tempat, walaupun beririgasi teknis karena alokasi air yang terbatas
atau kelompok tani kurang berjalan, waktu tanam menjadi tidak serempak. Pada
pola tanam tidak serempak, hama yang perlu diamati adalah tikus, terutama pada
musim kemarau. Ketidakserempakan tanam memberikan kesempatan bagi tikus untuk
bereproduksi (breeding period) dalam waktu yang lebih panjang. Selain
itu, pengendalian tungro dengan pergiliran varietas berdasarkan ketahanan
terhadap wereng hijau kurang berhasil karena selalu ada tanaman yang muda,
tempat wereng hijau berkembang menularkan virus tungro.
IMPLIKASI DARI KONSEP PHT
Konsep
PHT muncul sebagai tindakan koreksi terhadap kesalahan dalam upaya pengendalian
hama. Sejak ditemukannya pestisida sintetik pada tahun 1940an (Muller and
Borger 1946), penggunaan pestisida sangat intensif untuk me-ngendalikan hama.
Penggunaan pestisida yang intensif memang telah mem-berikan kontribusi terhadap
peningkatan produksi pertanian, tetapi juga berdampak negatif, yaitu
menimbulkan resisten dan resurjen beberapa jenis hama, mematikan organisme
bukan sasaran, termasuk musuh alami hama, dan residu pestisida yang berbahaya
terhadap kesehatan manusia dan ternak. Konsep PHT dicetuskan dalam panel ahli
FAO di Roma pada tahun 1965 (FAO 1966). PHT adalah suatu sistem pengendalian
hama berdasarkan pemahaman terhadap dinamika populasi dan lingkungan suatu
jenis hama, menggunakan berbagai teknik pengendalian yang kompatibel untuk
menjaga agar populasi hama di bawah ambang yang menyebabkan kerusakan yang
bernilai ekonomi. Beberapa jenis hama hanya dapat dikendalikan dengan baik
perpaduan komponen teknik pengendalian.
Kelestarian
lingkungan mendapat perhatian dari pemimpin dunia dalam the World Food
Summit yang diselenggarakan oleh FAO di Roma, Italia, pada 13-17
November 1996. Deklarasi Revolusi Hijau Baru (the New Green Revolution)
disertai catatan bahwa pelaksanaannya pada lahan marjinal harus memper-hatikan
lingkungan dengan belajar ke Revolusi Hijau pertama (FAO 1996). Bank
Pembangunan Asia mendukung gagasan Revolusi Hijau Baru dengan me-nambahkan kata greener (ADB
2000). Bagaimana mengimplikasikan the Greener Green Revolution itu?
Jauh
sebelum the World Food Summit diselenggarakan, ilmuwan mulai
memperhatikan dampak penggunaan pestisida yang berlebihan dan tidak aman
terhadap kesehatan manusia. Konsep PHT ditawarkan sebagai metode pengendalian
hama penyakit (pest) yang lebih murah dan aman. Strategi PHT memerlukan
keilmuan yang mengendalikan kombinasi antara penelitian strategis dan terapan
untuk menginvestigasi faktor ekologis yang mem-pengaruhi hama penyakit,
merancang, dan mengevaluasi metode pengendalian baru (IRRI 1993). Penerapan PHT
juga bergantung pada partisipasi petani dan kebijakan pemerintah. Sebab itu,
penerapan PHT dilakukan dengan Sekolah Lapang PHT (SL-PHT).
Persepsi tentang PHT
PHT
diintroduksi ke Indonesia dalam program Bimas pada MT 1976, karena serangan
wereng coklat pada MT 1975. Sejak saat itu PHT mulai diwacanakan, karena
implementasi konsep PHT masih belum jelas dan masih dalam validasi di lapang.
Penerapan PHT pada MT 1986 dimulai dengan pencabutan izin peredaran beberapa
pestisida, dan pencanangan Supra Insus dengan 10 jurus paket D-nya, yaitu: (1)
penanaman VUB, (2) penggunaan benih bersertifikat, (3) pengolahan tanah
sempurna, (4) populasi tanaman 200.000/ha, (5) pengairan yang cukup, (6)
pemupukan berimbang, (7) pemberian pupuk pelengkap cair (PPC) atau zat pengatur
tumbuh (ZPT), (8) penerapan PHT, (9) pola tanam yang sesuai, dan (10)
pengelolaan pascapanen yang baik. Bahkan, 10 jurus paket D itu dipandang
sebagai teknologi PHT itu sendiri (komunikasi pribadi dengan Dudung A. Adjid,
mantan Direktur Jenderal Tanaman Pangan).
Para
entomologis dan fitopatologis menetapkan lima strategi PHT, yaitu: (1) sanitasi
lingkungan di sekitar pertanaman, (2) penggunaan VUB tahan hama penyakit, (3)
penanaman serempak, (4) penerapan pola tanam (untuk me-mutus siklus hidup hama
dan patogen penyebab penyakit, dan (5) penggunaan pestisida secara bijaksana.
Dalam pelaksanaannya, PHT kemudian disalahartikan identik dengan zero
pesticides, karena pemberian pestisida secara bijaksana tidak diajarkan
dalam SL-PHT. Pengertian bahwa PHT identik dengan zero pesticide tidak
relevan dengan kenyataan di lapang. Kalau penanaman serempak pada waktu yang
tepat dimaksudkan agar stadia kritis tanaman padi jatuh pada saat populasi
musuh alami tinggi, waktu tanam di lapang ditentukan oleh golongan tanam
(golongan alokasi air irigasi). Kalau suatu kawasan mendapat jatah air pada
saat puncak penerbangan ngengat, penanaman akan berisiko, terutama jika
populasi musuh alami penggerek batang rendah. Sampai saat ini belum ada
varietas padi yang tahan terhadap penggerek batang. Dalam keadaan demikian,
pestisida harus disemprotkan dengan memperhatikan ambang kendali penggerek
batang.
Keterkaitan
antara komponen 10 jurus paket D dengan komponen strategi PHT ditunjukkan dalam
Tabel 1. Dalam 10 jurus paket D hanya penanaman VUB dan pola tanam yang identik
dengan komponen strategi PHT. Penggunaan benih bersertifikat dan pengelolaan
pascapanen yang baik secara tidak langsung berkaitan dengan kualitas benih dan
kemurnian VUB. Pengolahan tanah sempurna secara tidak langsung memfasilitasi
penanaman serempak. Pemupukan dan pengairan cukup akan membuat tanaman padi
kuat menghadapi ancaman penyakit. Populasi tanaman dengan penanaman yang ditata
seperti tegel dimodifikasi dengan penanaman menurut jajar legowo. Cara tanam
demikian membuat tanaman lebih terbuka, permukaan kanopi tidak rata dan tiupan
angin menimbulkan turbulan, sehingga iklim mikro diperkirakan menjadi kurang
sesuai bagi perkembangan patogen penyebab penyakit.
Tabel
1. Keterkaitan antara komponen 10-jurus paket-D dengan komponen strategi
PHT.
|
Strategi PHT
|
|||||
Komponen
10-jurus paket-D
|
Sanitasi
|
Penanaman VUB
|
Penanaman serempak
|
Penerapan pola tanam
|
Penggunaan pestisida (bijaksana)
|
|
1.
|
Penanaman
VUB
|
|
VVV
|
|
|
|
2.
|
Penggunaan
benih bersertifikat
|
|
VV
|
|
|
|
3.
|
Pengolahan
tanah sempurna
|
V
|
|
V
|
|
|
4.
|
Populasi
tanaman ³ 200.000 per ha
|
|
V
|
|
|
|
5.
|
Pengairan
cukup
|
|
V
|
|
|
|
6.
|
Pemupukan
berimbang
|
|
V
|
|
|
|
7.
|
Pemberian
PPC atau ZPT
|
|
V
|
|
|
|
8.
|
Penerapan
PHT
|
VVV
|
VVV
|
VVV
|
VVV
|
VVV
|
9.
|
Pola
tanam yang sesuai
|
|
|
|
VVV
|
|
10.
|
Pengelolaan
pasca panen yang baik
|
|
V
|
|
|
|
VVV
= keterkaitan kuat
VV
= keterkaitan sedang
V
= keterkaitan lemah
Implikasi dalam Penelitian
Karakterisasi
Kendala Hama Penyakit
Hama
utama yang menjadi kendala intensifikasi padi adalah tikus, penggerek batang,
wereng coklat, dan wereng hijau (vektor penyakit tungro). Penyakit utama adalah
hawar daun bakteri, tungro, dan blas pada padi gogo. Di dalam setiap daerah
geografis di mana pengelolaan hama penyakit akan diperbaiki atau PHT akan
diterapkan, perlu karakterisasi dan diketahui domain penelitian dan
pengembangan, dan selanjutnya untuk ekstrapolasi teknologi. Karakterisasi juga
perlu untuk mengumpulkan data lapang yang reliabel dan representatif,
pendekatan yang umum untuk mengumpulkan data dari contoh yang ditetapkan dalam
survei.
Survei
adalah cara untuk mengkarakterisasi kendala produksi, yang berisi informasi
tentang sistem perlindungan tanaman. Sistem produksi tanaman padi adalah
kompleks sehingga banyak indikator yang perlu dikarakterisasi. Setiap lahan
pertanaman padi dapat dipandang sebagai kenyataan yang unik dari kombinasi
banyak penanda. Penanda itu termasuk tanaman, lingkungan biofisik, hama
penyakit dan petaninya, yang pengelolaan atau aktivitasnya mempengaruhi seluruh
sistem produksi tanaman. Di antara penanda yang penting adalah (Savary et
al. 1996):
•
Situasi dari produksi ~ menggambarkan pengaruh faktor-faktor fisik, biologis
dan sosial-ekonomi terhadap produksi.
•
Kerusakan dan kehilangan ~ kerusakan adalah fakta yang dapat diukur karena
aktivitas biologis hama penyakit.
•
Potensi hasil yang dapat dicapai dan hasil aktual ~ potensi adalah hasil yang
diberikan oleh genotipe tanaman dalam keadaan lingkungan yang optimal, tetapi
di lapang dihambat oleh ketersediaan air, pemupukan, cahaya matahari atau suhu
yang bersifat suboptimal bagi proses fisiologi tanaman.
•
Presisi vs akurasi ~ pengukuran harus teliti dan akurat; standar deviasi
sekitar 20% adalah normal dicapai dalam survei tanaman biji-bijian.
Protokol
survei supaya disiapkan sebelum berangkat, dan dipahami oleh semua petugas
survei (enumerator). Tujuan pembuatan protokal, adalah:
(1)
mengkarakterisasi pola pertanaman untuk mendapatkan secara garis besar
deskripsi yang wajar tentang situasi produksi,
(2)
mengkarakterisasi kombinasi hama penyakit yang mungkin dijumpai di lokasi
survei,
(3)
menentukan keterkaitan antara situasi produksi dan insiden yang diakibatkan
oleh hama penyakit,
(4)
menentukan cara mengatasi masalah dan kendala yang disebabkan oleh kombinasi
hama-penyakit yang menyebabkan variasi dari hasil aktual.
Dari
hasil survei ini ditentukan secara hipotesis komponen strategi PHT yang paling
diperlukan untuk menentukan jenis dan lokasi pengembangan hama penyakit.
Penekanan
Potensi Epidemis Penyakit
Dari
hasil survei akan diketahui sebaran penyakit dan potensi epidemisnya. Di antara
penyakit yang potensi epidemisnya harus diwaspadai adalah tungro. Jadi,
epidemiologi adalah satu bidang studi PHT (IRRI 1993).
Tungro
muncul lebih awal, tetapi cepat tersebar dengan insiden penularan yang lebih
besar dan luas pada musim hujan dibanding musim kemarau. Inokulum primer
berpengaruh nyata terhadap dinamika penyakit ini. Pencabutan tanaman sakit dan
menggantinya dengan tanaman sehat tidak mengurangi insiden penyakit. Cara yang
praktis untuk mengurangi penyakit tungro adalah pergiliran varietas dan
penanaman varietas tahan virus tungro.
Ketahanan
terhadap Hama Penyakit
Tanaman
yang secara genetik tahan terhadap hama penyakit disebut host plant
resistance, yaitu faktor kunci dalam mengurangi penggunaan pestisida
dalam reproduksi padi (IRRI 1993).
Populasi
hama penyakit berubah dari waktu ke waktu, sementara daya tahan varietas secara
genetik bisa turun, sedangkan biotipe hama dan patotipe penyakit dapat
menyesuaikan diri dengan ketahanan varietas yang baru dilepas. Oleh sebab itu,
pemuliaan padi tidak akan pernah berhenti untuk mengantisipasi dinamika
populasi hama penyakit. Jadi, pemuliaan adalah bagian dari penelitian yang
berwawasan PHT. Gambar 2 adalah contoh menurunnya hasil IR8 setelah 5-6 tahun
dilepas. Persilangan dengan varietas lain untuk memperbaiki daya tahan IR8
menghasilkan varietas-varietas baru, sehingga mengembalikan potensi genetik yang
diwariskan IR8.

Gambar
2. Hasil gabah IR8 turun dari sejak dilepas, tetapi dikembalikan lagi ke
potensi hasil awal melalui pemuliaan tanaman, varietas yang dihasilkan diberi
hama baru (IRRI 1993)
KOMPONEN TEKNOLOGI PENGENDALIAN
Teknologi
yang dapat digunakan untuk mengendalikan hama penyakit padi telah banyak
dihasilkan. Namun tidak semua teknologi tersebut dapat diterap-kan pada satu
atau semua jenis hama penyakit pada berbagai agroekosistem padi. Berikut
diuraikan komponen teknologi pengendalian yang telah dihasilkan di Indonesia
untuk mengendalikan hama penyakit padi.
Varietas Tahan
Varietas
tahan yang telah dirakit untuk padi sawah adalah varietas tahan wereng coklat,
penyakit tungro dan hawar daun bakteri (Suprihatno et al. 2006).
Untuk padi lahan kering hanya tersedia varietas tahan penyakit blas. Sumber gen
tahan dari beberapa tetua yang tahan terhadap wereng coklat, wereng hijau,
penyakit tungro, penyakit hawar daun bakteri dan penyakit blas telah diketahui,
Ketahanan varietas padi diseleksi dengan menggunakan cara yang baru. Buku Standard
Evaluation System (SES) For Rice (IRRI 1996)
digunakan untuk mengukur tingkat ketahanan varietas di rumah kaca atau di
lapang.
Varietas
Tahan Hama
Varietas
tahan wereng coklat yang dilepas disebut dengan varietas unggul tahan wereng
coklat (VUTW) dan varietas tahan wereng hijau (Suprihatno et al.
2006). Varietas tahan wereng coklat dirakit dengan menggunakan tetua yang sudah
diketahui gen ketahanannya, seperti gen tahan Bph1 (Mudgo, IR26), bph2 (ASD7),
bph3 (Rathu Heenati, PTB33), dan bph4 (Babawe) (Baehaki 1999). Varietas tahan
wereng hijau dikelompokkan berdasarkan sumber gen tetua tahannya menjadi T1,
T2, T3, dan T4 (Sama et al. 1991). Gen tahan yang dimiliki oleh
kelompok varietas T1, T2, T3, dan T4 berturut-turut adalah gen Glh1, Glh6,
Glh5, dan Glh4.
Varietas
Tahan Penyakit
Varietas
tahan penyakit tungro dikelompokkan ke dalam varietas yang tahan terhadap
wereng hijau sebagai penular (vektor) patogen, dan varietas yang tahan terhadap
virus yang merupakan patogen penyebab penyakit tungro (Imbe 1991). Lima
varietas tahan virus tungro yang telah dilepas adalah Tukad Petanu, Tukad Unda,
Tukad Balian, Kalimas, dan Bondoyudo (Widiarta dan Daradjat 2000). Varietas
tahan penyakit hawar daun bakteri seperti Angke dan Code sudah lebih jelas
sumber gen tahannya. Varietas Cirata paling peka dengan intensitas penularan
penyakit blas mencapai 73,8%. Varietas lainnya seperti Way Rarem, Jatiluhur,
dan Towoti, intensitas penularan blas lebih rendah.
Wereng
coklat, patogen blas, dan hawar daun bakteri memiliki kemampuan adaptasi yang
cepat terhadap varietas tahan. Wereng coklat beradaptasi membentuk biotipe
baru, sedangkan patogen penyakit membentuk ras/patotipe baru yang lebih ganas.
Budi Daya/Pola Tanam
Waktu
Tanam Tepat
Tanam
pada saat yang tepat dimaksudkan untuk membuat tanaman terhindar dari serangan
pada stadia tanaman peka. Waktu tanam tepat digunakan untuk mengendalikan
penyakit tungro (Sama et al. 1991). Tanaman padi diketahui peka
terhadap infeksi virus tungro pada saat berumur kurang dari satu bulan setelah
tanam. Dengan mengamati pola fluktuasi populasi wereng hijau dan intensitas
penularan tungro sepanjang tahun, akan diketahui saat-saat ancaman paling
serius tertular penyakit tungro. Waktu tanam diatur agar pada saat ancaman
tungro serius, tanaman sudah berumur lebih dari satu bulan. Waktu tanam tepat
tidak efektif mengendalikan penyakit tungro di daerah dengan pola tanam tidak
serempak seperti di Bali.
Tanam
Serempak
Tanam
serempak dapat memperpendek waktu keberadaan sumber inokulum atau waktu
perkembangbiakan. Tanam serempak mengurangi sumber tanaman sakit dan membatasi
waktu berkembang biak vektor penular patogen. Waktu tanam serempak berhasil
mengendalikan luas penularan tungro di Sulawesi Selatan. Di daerah tanam
serempak, tikus hanya mempunyai waktu berkembang biak sekali dalam satu musim
tanam, yaitu menjelang stadia primordia. Untuk mengurangi penularan penyakit
tungro, tanaman serempak dianjurkan minimal untuk luasan 20 ha berdasarkan
gradasi penyebaran penyakit (disease gradient) dari satu sumber inokulum
(Widiarta et al. 1997a). Untuk tikus minimal 40 ha berdasarkan halow
effect, yaitu areal yang dapat diproteksi dari serangan tikus oleh
satu unit trap barrier systems(TBS) (Sudarmaji 2007).
Sanitasi
Serangga
atau patogen penyebab penyakit dapat berkembang pada gulma, singgang, dan bibit
padi yang tumbuh dari ceceran gabah saat panen (voluntir) pada saat
tidak ada tanaman padi. Wereng coklat hanya dapat berkembang dengan baik pada
tanaman padi, singgang, dan voluntir. Wereng hijau spesies N. virescens yang
paling efisien sebagai vektor virus-virus tungro juga dapat melengkapi siklus
hidupnya dengan baik hanya pada tanaman padi. Perkembangan wereng hijau spesies
lainnya seperti N. nigropictus dan N. malayanus lebih
baik pada gulma. Virus tungro di samping dapat menginfeksi padi, juga bisa
menginfeksi gulma (Anjaneyulu et al. 1988, Yulianto dan Hasanuddin
1997).
Tabur
Benih Langsung
Untuk
menanam benih padi langsung (tabela), petakan sawah dibersihkan dan diratakan
terlebih dahulu sebelum benih ditebar. Dengan demikan, inokulum tungro telah
berkurang pada awal pertumbuhan tanaman. Tabela akan lebih efektif mengurangi
perkembangan tungro bila tanam serempak minimal 20 ha. Tabela yang tidak serentak
dalam hamparan akan menjadikan tanaman padi yang ditanam paling lambat mendapat
akumulasi vektor maupun maupun inokulum tungro. Petani di beberapa daerah di
Sulawesi Selatan telah mempraktekkan tabela, namun karena waktu tabur yang
tidak bersamaan, maka penularan tungro tetap meluas.
Jarak
Tanam
Sebaran
tanaman diatur dalam jarak tanam. Jarak tanam padi ada dua jenis, yaitu jarak
tanam sama sisi (tegel) dan jarak tanam yang setiap 2-4 baris tanaman dibiarkan
kosong satu baris yang populer disebut tanam jajar legowo. Tanam jajar legowo
menyebabkan kondisi iklim mikro di bawah kanopi tanaman kurang mendukung
perkembangan patogen. Pada tanaman padi jajar legowo, wereng hijau kurang aktif
berpindah antarrumpun, sehingga penyebaran tungro terbatas (Widiarta et
al. 2003). Tikus lebih senang merusak tanaman padi yang berada di tengah
petakan, pada pertanaman jajar legowo, semua tanaman berada di pinggir,
sehingga tikus kurang betah tinggal di petakan demikian. Penularan penyakit
hawar daun bakteri juga berkurang pada pertanaman padi jajar legowo.
Pemupukan
Berimbang
Pemupukan
berimbang dimaksudkan memberikan nutrisi makro yang dibutuhkan, khususnya
nitrogen, sesuai dengan kebutuhan tanaman, sedangkan pupuk fosfat (P) dan
kalium (K) berdasarkan kondisi hara tersebut di dalam tanah. Pemupukan
berimbang disebut juga pemupukan spesifik lokasi, karena anjuran takaran pupuk
yang berbeda antarlokasi bergantung pada kebutuhan tanaman akan hara dan hara
yang tersedia. Kebutuhan tanaman akan unsur nitrogen dapat diketahui dengan
bagan warna daun (BWD), sedangkan status hara P dan K dapat diketahui dengan
perangkat uji tanah sawah. Penetapan kebutuhan unsur makro dapat juga
diestimasi dengan petak omisi. Pemupukan dengan urea yang berlebihan
menyebabkan tanaman disukai oleh wereng coklat dan oleh beberapa jenis penyakit
seperti hawar daun bakteri (Suparyono et al. 1990).
Pengairan
Regim
air di permukaan petakan sawah mempengaruhi kelembaban di bawah kanopi. Nimfa
wereng coklat tidak dapat tumbuh dengan baik pada kelembaban di bawah kanopi
kurang dari 60% (Isichaikul et al. 1994). Pengeringan sawah dapat
meningkatkan kematian nimfa wereng coklat. Akan tetapi, bila tanaman padi
tertular penyakit tungro, pengeringan sawah akan mendorong wereng hijau untuk
berpindah tempat. Pengeringan sawah yang terkena tungro akan mempercepat
penyebaran penyakit (Widiarta et al. 2003). Dengan demikian, dampak
pengairan terhadap serangan hama penyakit sangat bergantung pada jenisnya.
Pergiliran
Varietas
Pergiliran
varietas akan memperpanjang masa ketahanan varietas terhadap wereng coklat,
wereng hijau, atau penyakit yang disebabkan oleh patogen yang mudah berubah
ras/patotipenya. Dengan demikian, tekanan terhadap frekuensi seleksi akan
berkurang. Varietas tahan wereng hijau dikelompokkan berdasarkan sumber tetua
tahan. Varietas tahan wereng coklat dikelompokkan berdasarkan ketahanannya
terhadap biotipe tertentu. Varietas digilir antarmusim tanam dan berdasarkan
status biotipe. Begitu pula pergiliran varietas untuk pengendalian wereng coklat,
dilakukan berdasarkan status biotipe. Di masa mendatang, selain pergiliran
varietas, prospek pertanaman multivarietas (mosaik), strip planting, maupun
campuran varietas perlu dikaji untuk mengurangi tekanan seleksi. Dari kedua
teknik tersebut, pertanaman multivarietas dan strip planting secara
teknis lebih mudah diterapkan. Pertanaman padi gogo di Lampung dengan
menggunakan 3-5 varietas ternyata dapat menekan serangan blas, sehingga hasil
panen mencapai 5,14 t/ha selama tiga musim tanam dari MH 2002/03 sampai MH
2004/05
Rotasi
Padi dengan Palawija
Tanam
berurutan padi dan palawija akan memutus siklus hama seperti wereng coklat dan
wereng hijau, karena kedua hama tersebut hanya tumbuh dengan baik pada tanaman
padi. Beberapa musuh alami memiliki inang atau mangsa jenis hama padi maupun
palawija. Pertanaman palawija setelah padi yang disebut integrasi tanaman padi
- palawija memberikan tempat berlindung bagi musuh alami saperti laba-laba
(Baehaki et al. 2007). Perkembangan musuh alami biasanya lebih
lambat dari hama pada stadia awal tanaman padi. Adanya tempat berlindung dan
sumber mangsa selama tidak ada tanaman padi di lapang akan meningkatkan
populasi musuh alami pada stadia awal tanaman padi.
Pengendalian secara Fisik
Lampu
Perangkap
Banyak
jenis serangga seperti wereng, penggerek batang, ganjur, lembing batu tertarik
cahaya, sehingga berkumpul di sekitar cahaya lampu. Apabila di bawah lampu
diletakkan cawan penampung air, serangga yang tertarik terhadap cahaya lampu
akan terperangkap di dalam tempat cawan tersebut (Hendarsih et al.
2000). Kematian serangga yang terperangkap dapat dipercepat dengan menambahkan
insektisida atau diterjen pada air perangkap .
Pagar
Plastik, Bubu Perangkap dan Tanaman Perangkap
Pagar
plastik telah biasa dipakai oleh petani untuk melindungi pesemaian dan tanaman
padi. Pagar plastik hanya berfungsi menghalangi atau mengarahkan masuk ke bubu
perangkap. Pagar plastik tidak mengurangi populasi tikus tetapi berfungsi
sebagai pengendali populasi apabila dilengkapi dengan bubu perangkap.
Bubu
perangkap digunakan untuk menangkap tikus hidup, menggunakan prinsip bubu
untuk menangkap ikan pada lubang masuk yang menghalangi tikus untuk keluar.
Bubu perangkap digunakan satu paket dengan pagar plastik dan tanaman perangkap
yang disebut TBS (Sudarmaji 2007). Satu unit TBS dapat melindungi pertanaman
seluas 40 ha, bila tidak ada migrasi tikus dari luar.
Tanaman
perangkap salah satu paket dalam TBS yang merupakan banyak digunakan untuk
menarik tikus. Tikus diketahui paling tertarik pada fase reproduktif. Agar
perangkap berfungsi sebagai perangkap, tanaman harus ditanam lebih awal dari
tanaman padi lain di hamparan. Tanaman padi aromatik lebih menarik tikus, tapi
lebih kuat daya tarik tanaman yang telah memasuki fase primordia, baik yang
aromatik maupun yang bukan aromatik.
Perangkap
lekat
Selain
cahaya, warna dan feromon juga dapat digunakan sebagai penarik serangga.
Perangkap lekat adalah lem yang dilumurkan pada kertas warna atau tempat
meletakkan dispenser feromon penarik serangga (Hendarsih et al.
2000). Perangkap lekat lebih banyak digunakan untuk estimasi kepadatan populasi
daripada pengendalian hama padi dan untuk mengestimasi populasi hama yang sulit
dilihat tanpa menggunakan alat pembesar seperti thrips atau tungau.
Pengendalian secara Biologi
Parasit/Parasitoid
Parasit
adalah arthropoda yang seluruh fase pertumbuhannya dilalui pada inang. Parasit
ada yang tumbuh di dalam atau di luar inang. Parasitoid adalah parasit yang
hanya pada fase nimfa/larva hidup pada inangnya, sedangkan pada fase imagonya
hidup di luar inang dari madu atau tepung sari (DeBach et al.
1971). Jenis parasit Trichogramma telah dikembangkan dan dapat
dibiakkan secara massal pada inang alternatifnya, untuk mengendalikan penggerek
batang padi.
Patogen
Patogen
menginfeksi serangga (entomopathogent) sampai mati. Tiga jenis patogen
serangga yaitu jamur, bakteri, dan virus. Patogen dari jenis jamur yang dapat
diperbanyak untuk mengendalikan wereng coklat, wereng hijau, dan lembing batu
adalah Metarhizium dan Beuveria (Widiarta dan
Kusdiaman 2002 Baehaki dan Kertohardjono 2003).Patogen dari jenis virus
(nucleus poly-hydrosis virus=NPV) dapat digunakan untuk mengendalikan
ulat grayak (Arifin et al. 2005).
Predator
Predator
mematikan serangga dengan cara memakan (menggigit-mengunyah) adalah dari jenis
laba-laba, dan yang mengisap adalah dari jenis kepik. Jenis predator yang
diandalkan untuk mengendalikan wereng adalah dari jenis laba-laba (Lycosa),
dan kepik (Cyrtorhinus, Microvelia). Laba-laba sulit dibiakkan secara
massal karena sifatnya yang kanibal. Predator dari jenis kepik dapat
diperbanyak, sehingga dapat dilepas dengan teknik inundasi. Walaupun demikian,
disarankan untuk mengkonservasi bila ingin meningkatkan peran predator (Widiarta et
al. 2001). Predator ini dapat dikonservasi dengan rotasi padi dengan
palawija, menaruh mulsa jerami pada pematang atau membersihkan pematang setelah
tanaman umur 1 bulan atau secara selektif bagi gulma yang berfungsi sebagai
inang alternatif saja.
Pengendalian secara Kimiawi
Feromon
Serangga
betina dewasa berkomunikasi dengan jantan dewasa menggunakan eksresi bahan
kimia dari tubuh yang disebut feromon. Feremon sangat spesifik, hanya untuk
spesies yang sama. Serangga betina mengekresikan feromon untuk menarik serangga
jantan. Feromon akan menuntun jantan untuk menemukan betina. Karena sifatnya
yang dapat menarik serangga jantan, feromon dapat digunakan untuk menangkap
massal serangga jantan atau untuk mengacaukan proses perkawinan. Penggunaan feromon
buatan mengecoh serangga jantan sehingga mengacaukan perkawinan. Karena itu
kopulasi alami tidak terjadi atau terganggu (mating disruption). Feromon
hama padi yang telah teridentifikasi adalah untuk tiga spesies penggerek batang
(Hendarsih et al. 2000).
Pestisida
Nabati
Ekstrak
tanaman tembakau dan akar tuba dapat digunakan sebagai pestisida nabati.
Tanaman lain yang dapat digunakan sebagai insektisida nabati adalah nimba dan
sambilata (Mariappan et al. 1983 Widiarta et al. 1997).
Bahan nabati yang dapat digunakan untuk mengendalikan keong (molukisida nabati)
adalah rerak, ekstrak biji teh.
Fungisida
Fungisida
digunakan untuk mengendalikan penyakit yang disebabkan oleh jamur. Penggunaan
fungisida untuk mengendalikan penyakit tanaman padi lebih berkembang
dibandingkan dengan bakterisida untuk mengendalikan penyakit padi yang
disebabkan oleh bakteri (Sudir dan Suparyono 1999).
Pestisida
Sintetis
Insektisida
sintetis paling dikenal dan digunakan secara luas untuk mengendalikan hama
serangga. Insektisida diandalkan untuk menekan populasi dalam waktu yang
relatif singkat, petani sangat menyukainyasehingga, penggunaan pestisida tidak
rasional.
Penggunaan
insektisida yang tidak rasional dapat menyebabkan hama lebih tahan (resisten)
terhadap insektisida, bahkan populasinya bertambah setelah aplikasi (resurjen)
(Chelliah et al. 1980). Untuk membunuh serangga yang telah tahan,
diperlukan dosis yang lebih tinggi. Resurjen terjadi karena perubahan fisologis
serangga sehingga keperidiannya meningkat, atau secara ekologis karena musuh
alaminya berkurang.
Rodentisida
Rodentisida
digunakan untuk meracuni tikus, diformulasi dalam bentuk yang telah dicampur
dengan umpan atau terpisah (Sudarmaji 2007). Daya racun rodentisida ada yang
dapat langsung mematikan tikus (racun akut) pada saat memakan dan ada yang
perlu waktu beberapa hari untuk mematikan tikus (antikuagulan).
Fumigan
Bahan
kimia dalam bentuk uap atau asap digunakan untuk membunuh hama atau serangga di
gudang penyimpanan atau tikus dalam lubang. Untuk menghembuskan asap ke dalam
lubang tikus digunakan alat yang disebut emposan (Sudarmaji 2007).
Monitoring
Pengamatan
perkembangan hama atau penyakit sangat membantu dalam penetapan langkah
pengendalian yang tepat waktu, tepat sasaran, efektif, dan efisien.
Sebagai indikator perkembangan hama penyakit dikembangkan ambang kendali atau
ambang ekonomi. Ambang kendali atau ambang ekonomi adalah kepadatan populasi
atau tingkat serangan hama penyakit yang apabila tidak di kendalikan akan
menyebabkan kerusakan pada tanaman padi yang secara ekonomi berarti. Ambang
kendali/ekonomi beberapa hama penyakit padi tercantum pada Tabel 2.
Hama
penyakit dapat dimonitor secara visual, yaitu kepadatan populasi, kelompok
telur, gejala penyakit, dan luas serangan. Populasi dan uji tertentu diamati
sesuai dengan kekhasan hama penyakit. Populasi penggerek batang dapat diamati
dengan menggunakan lampu perangkap atau perangkap feromon. Wereng coklat
terkoreksi dihitung berdasarkan rasio kepadatan populasi wereng coklat dan
musuh alaminya. Kepadatan populasi wereng hijau diamati dengan menggunakan
jaring serangga, 20 kali ayunan tunggal. Tanaman terinfeksi virus diamati
dengan uji iodium. Dari perkalian kepadatan populasi wereng hijau dan
persentase bibit terinfeksi diperoleh indeks tungro. Skala gejala penyakit blas > 5
apabila luas gejala penyakit telah melebihi 26% dari luas permukaan daun
Tabel
2. Ambang kendali beberapa jenis hama dan penyakit padi.
Jenis
hama-penyakit
|
Ambang
kendali
|
Pustaka/keterangan
|
Hama
|
||
Penggerek
Batang
|
|
Hendarsih
dan Usyati (2001)
|
Wereng
Coklat
|
|
Baehaki
(1999)
|
Ganjur
|
|
Soetarto et
al. (2001)
|
Keongmas
|
|
Hendarsih et
al. (2004)
|
Penyakit
|
||
Tungro
|
|
Widiarta et
al. (2003); Suzuki et al. (1992)
|
Hawar
daun bakteri
|
|
Suparyono
dan Sudir (1993)
|
Blas
|
|
Amir et
al. (2000)
|
.
Karantina
Peraturan
karantina bertujuan untuk mencegah masuknya organisme penggangu tanaman
karantina (OPTK) dari wilayah sebaran asal ke daerah baru yang belum dijumpai
OPTK tersebut. Pengendalian masuknya OPTK diatur dalam suatu peraturan
karantina, sehingga karantina disebut pengendalian dengan peraturan (Horn,
1988). Indonesia memiliki Undang - Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina
Hewan, Ikan, dan Tumbuhan, di samping Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2000
tentang Karantina Hewan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2002 tentang
Karantina Tumbuhan. Karantina hanya akan efektif bila aturan ditegakkan dan
dipatuhi.
Masuknya
OPTK padi secara legal adalah melalui tukar menukar plasma nutfah dan
perdagangan. Secara ilegal dapat masuk melalui kemasan, pencurian plasma
nutfah, dan perdagangan ilegal. Pada tahun 2007 pemerintah berupaya
meningkatkan produksi padi setara dengan 2 juta ton beras dan untuk tahun
berikutnya peningkatan produksi ditargetkan 5% sampai dengan tahun 2009. Salah
satu langkah yang ditempuh adalah mengembangkan padi hibrida pada areal
seluas135.000 ha. Masalah pengembangan padi hibrida adalah penyediaan benih F1.
Produksi benih F1 hibrida di Indonesia masih rendah dibandingkan dengan negara
lain, hasil tertinggi yang dicapai 2 t/ha. Untuk memenuhi kebutuhan benih
diperlukan waktu dan perencanaan yang matang. Apabila pengembangan hibrida pada
areal seluas yang diingingkan secepatnya maka waktu menjadi pembatas, pemenuhan
kebutuhan benih tidak akan dapat dipasok dari dalam negeri. Penyakit tanaman
padi yang ada di negara produsen benih di Cina tapi tidak dijumpai di Indonesia
salah satunya adalah kerdil kuning (yellow dwarf), yang disebabkan oleh
virus, dibantu penyebarannya oleh wereng hijau spesies Nephotettix
cincticeps. Dengan demikian di impor benih padi hibrida perlu dengan ekstra
hati-hati.
FALASI , MANFAAT, DAN STATUS PRAKTEK
PHT
Falasi
Aplikasi
Pestisida secara Bijaksana vs Pestisida zero (zero pesticide)
Dari
studi The National IPM Program (1991) diketahui bahwa
berkurangnya aplikasi pestisida oleh petani tidak menurunkan produksi, meskipun
subsidi pestisida sudah dihilangkan. Produksi padi nasional tidak
berkurang, malah terus meningkat sehingga menembus angka 50 juta ton pada awal
milenium ketiga, sedangkan konsumsi pestisida turun sampai hanya 1/3 dari
kondisi puncak tahun 1987 yang mencapai 59.000 ton. Dua kenyataan tersebut
menimbulkan keyakinan sebagian orang bahwa tanpa pestisida (zero pesticide)
produksi padi dapat dipertahankan bahkan ditingkatkan. Keyakinan tersebut
menimbulkan persepsi bahwa PHT dapat dilakukan tanpa pestisida, yang tentunya
tidak sesuai dengan konsep PHT.
Aplikasi
Pestisida Berdasarkan Hasil Pengamatan vs simple rules.
Taktik
penerapan PHT yang dianjurkan oleh IRRI bersifat sederhana (simple rules),
yaitu tidak mengaplikasi insektisida pada tanaman padi sampai berumur 45 hari
setelah tanam. Simple rules yang berhasil menekan serangan
wereng coklat di Vietnam (IRRI 2002) tidak sepenuhnya dapat diterapkan di
Indonesia, karena adanya masalah hama penggerek batang dan penyakit tungro, di
samping wereng cokelat yang justru menyerang tanaman pada fase awal
pertumbuhan. Khusus untuk penyakit tungro, periode tanaman peka berada pada
saat tidak diperbolehkan aplikasi pestisida. Di daerah yang hanya bermasalah
wereng coklat, taktik tersebut beralasan untuk diterapkan. Di samping itu,
taktik tersebut tidak memperhatikan hasil pengamatan, yang menjadi salah satu
taktik penting dalam penerapan PHT. Hal ini bertentangan dengan tujuan SL-PHT
yaitu memberikan kesempatan kepada petani melakukan pengamatan dan mengambil
keputusan sesuai hasil pengamatan.
PHT
pada Satu Jenis Tanaman dan Hama Penyakit Tunggal vs Pola Budi Daya dan Komplek
Hama Penyakit
Jenis
hama penyakit yang berkembang pada suatu ekosistem umumnya lebih dari satu
jenis. Perkembangan hama penyakit dipengaruhi oleh multifaktor , seperti jenis
tanaman maupun pola budi daya di suatu ekosistem. Hampir semua PHT yang dirakit
ditujukan untuk mengendalikan satu jenis hama-penyakit pada satu jenis tanaman
tertentu. Savary et al. (1996) merancang portofolio survei untuk
karakterisasi kendala hama penyakit pada suatu situasi sistem produksi (pola
budi daya). Data hasil survei kemudian dianalisis dengan correspondence
analysis. Dari analisis hubungan antara pola budi daya, kendala hama, dan
hasil panen, suatu lokasi produksi dapat dikelompokkan menjadi beberapa
golongan daerah (domain), sebagai dasar pengembangan PHT secara lebih
holistik.
Manfaat Penerapan PHT
Sosial-Ekonomi
Hasil
studi Tim Program PHT Nasional menunjukkan bahwa beberapa keuntungan yang
didapat petani dari penerapan PHT setelah dilatih SL-PHT (The National IPM
Program 1991) adalah: 1) biaya untuk pengendalian hama penyakit berkurang 50%,
2) frekuensi aplikasi pestisida berkurang dari rata-rata tiga kali menjadi satu
kali/ periode tanam, 3) kebiasaan petani berubah dari aplikasi pestisida untuk
pencegahan ke aplikasi berdasarkan hasil pengamatan. Petani SL-PHT menggunakan
pestisida lebih rendah. Meskipun demikian kerusakan dan kehilangan hasil lebih
rendah sehingga hasil yang dicapai lebih tinggi seperti terungkap dari hasil
survei Irham (2002). Tabel 3 menyimpulkan bahwa penerpan PHT menekan kehilangan
hasil tetapi penggunaan pestisida lebih rendah, sehingga rasio biaya
dibandingkan dengan peningkatan hasil lebih tinggi diperoleh petani yang
menerapkan PHT. Hal yang serupa juga dilaporkan oleh Kabore et al.
(2002) yang menemukan bahwa rasio biaya dan keuntungan dari infestasi pada paket
PHT mencapai 1: 3,38 lebih tinggi dari paket petani.
Tabel
3. Perbandingan rata-rata penggunaan pestisida, tingkat kerusakan tanaman,
kehilangan hasil dan produksi padi antara petani yang menerapkan PHT dan yang
tidak (modifikasi dari Irham 2002).
Jenis
|
Petani PHT
|
Petani non-PHT
|
Penggunaan
pestisida butiran (kg/ha)
|
1,4
|
4,6
|
Penggunaan
pestisida cairan (l/ha)
|
2,4
|
3,8
|
Kerusakan
tanaman (%)
|
23,0
|
27,0
|
Kehilangan
hasil (ton/ha)
|
1,7
|
2,2
|
Hasil
panen (kg/ha)
|
3,7
|
3,4
|
Sejak
dimulainya era peningkatan pengetahuan dan partisipasi petani dalam menerapkan
PHT, sampai saat ini luas serangan hama, terutama wereng coklat, dapat ditekan
sampai lebih rendah dari penggerek batang padi (Soetarto et al.
2001). Begitu pula luas serangan hama ganjur. Sedangkan serangan tikus masih
tetap terluas. Luas penularan penyakit lainnya seperti tungro pada padi sawah
yang ditanam tidak serempak di Jawa dan Bali serta penyakit blas pada lahan
marjinal masih perlu mendapat penanganan lebih serius.
Dukungan
politik pemerintah untuk menerapkan PHT dan meningkatkan keterampilan petani
melalui SL-PHT telah mendorong industri pestisida untuk menghasilkan produk,
pemasaran, dan pelayanan yang sesuai dengan PHT (Vorley 1990). Dengan demikian
petani akan mendapatkan pilihan produk pestisida yang efektif, efisien, dan
ramah lingkungan.
Keanekaragaman
Arthropoda
Adopsi
PHT akan merasionalkan penggunaan pestisida, bahkan ada kasus di mana tidak
diperlukan penggunaan pestisida. Pada sawah yang tidak diaplikasi insektisida
diketahui bahwa hama hanya menempati 21% keragaman artropoda, yang dominan
adalah serangga netral yang mencapai 52% (Mahrub 1999). Serangga netral
sebagian besar adalah mangsa dari predator. Dalam kelimpahan mangsa, predator
akan berperan baik mengendalikan hama. Hasil studi pada sawah dengan pola tanam
serempak dan tidak serempak menunjukkan bahwa keanekaragaman arthropoda pada
sawah yang tidak diaplikasi pestisida lebih banyak dari yang diaplikasi, dengan
hasil panen yang relatif sama (Arifin et al. 1997). Penerapan
PHT tidak identik dengan bertanam padi tanpa pestisida. Dampak dari
pengendalian hama dengan pestisida yang terjustifikasi penggunaannya
berdasarkan hasil pengamatan terhadap keanekaragaman arthropoda perlu diteliti
lebih lanjut.
Status Praktek PHT
Era
Sentralistik
Implementasi
PHT mulai dirintis pada tahun 1979/80 untuk mengendalikan hama wereng coklat.
Taktik pengendalian yang diterapkan meliputi: (a) penggunaan varietas tahan,
(b) tanam serempak, (c) penerapan pola tanam berbasis padi
(padi-padi-palawija), dan (d) penggunaan insektisida berdasarkan hasil
surveilan (Oka 1982). Taktik serupa juga diiplementasikan untuk pengendalian
penyakit tungro dan hama tikus. Untuk maksud surveilan pemerintah mengangkat
pengamat hama. Apabila terjadi ledakan hama di suatu lokasi maka digerakkan
brigade proteksi tanaman, terutama untuk mengendalikannya dengan insektisida.
Peran pemerintah sangat besar dan penerapan PHT sentralistik. Pemerintah
membentuk institusi seperti Balai Proteksi Tanaman hampir di setiap provinsi,
Sentra Peramalan Hama dan Penyakit, dan Laboratorium-laboratorium pengamatan
hama dan penyakit di daerah untuk mendukung penerapan PHT. Peran petani pada
masa itu masih sangat kecil. Karena itu belum banyak yang memahami PHT. Pola
penerapan PHT secara sentralistik terus diterapkan sampai terjadi ledakan
populasi wereng coklat yang merusak 75.000 ha tanaman padi di Jawa Tengah pada
tahun 1986. Kejadian ini telah menyadarkan Departemen Pertanian untuk
menerapkan taktik yang lebih baik.
Meskipun
insektisida diaplikasikan berdasarkan hasil surveilan populasi hama,
insektisida yang digunakan banyak yang berspektrum luas dan tidak
ramahlingkungan, khususnya terhadap musuh alami. Melalui Dekrit Presiden No. 3
Tahun 1986 pemerintah melarang penggunaan 57 jenis insektisida pada tanaman
padi karena dikhawatirkan menimbulkan resurjensi.
Era
Partisipatif
Butir
penting dari Dekrit Presiden tersebut adalah partispasi petani dalam menerapkan
PHT dengan meningkatkan pengetahuan petani. Pengetahuan dan peran petani mulai
ditingkatkan melalui pelatihan-pelatihan dalam bentuk SL-PHT. Pada SL-PHT
petani peserta dijadikan sebagai murid dan pemandu lapang sebagai guru. Namun
pada SL-PHT tidak dibedakan antara guru dan murid, karena saling memberi
pengetahuan berdasarkan pengalaman. Departemen Pertanian bekerjasama
dengan Bank Dunia telah melatih 1.048.584 orang petani, termasuk 27.092 petani
berkemampuan sebagai pelatih PHT (Soetarto et al. 2001). Petani
dilatih untuk menjadi ahli PHT agar mengidentifikasi masalah dan mengambil
keputusan yang terbaik bagi pengendalian hama di lahan sawahnya. Sejak itu
dimulai era penerapan PHT secara partisipatif.
Era
Integratif
Dalam
bercocok tanam padi, PHT tidak berdiri sendiri, melainkan sebagai bagian dari
upaya memproduksi padi dengan hasil paling tinggi dan keuntungan petani
paling besar. Oleh karena itu PHT harus merupakan bagian dari budi daya padi
yang baik (good cultural practice). Pada dasarnya sistem budi daya padi
akan mempengaruhi dinamika populasi hama, dan sebaliknya.
Pada tahun 1994, FAO bekerjasama dengan Badan
Litbang Pertanian merintis penelitian Integrated Crop Management(ICM).
Hasil-hasil penelitian itu menghasilkan konsep Pengelolaan Tanaman dan Sumber
Daya Terpadu (PTT), yaitu suatu pendekatan sistem budi daya yang perakitan
komponen teknologinya diintegrasikan berdasarkan hasil analisis pemahaman
peluang dan kendala. PHT merupakan komponen teknologi dasar (compulsary),
yaitu komponen teknologi yang relatif dapat berlaku umum untuk wilayah yang
luas dalam pendekatan PTT. Meskipun PTT telah dibuktikan dapat meningkatkan
produktivitas, produksi, dan efisiensi usahatani pada Program Peningkatan
Produktivitas Padi Terpadu (P3T), tidak serta merta diterapkan petani pada
program peningkatan produksi beras nasional (P2BN) pada tahun 2007. Pada tahun
2008, belajar dari sukses SL-PHT, PTT didiseminasikan kepada petani dengan
pendekatan sekolah lapang yang disebut SL-PTT.
No comments:
Post a Comment