Friday, October 25, 2013

Regenerasi Tanaman secara In Vitro dan Faktor-Faktor Yang Mempenaruhi

kultur jaringan 

Kultur jaringan atau dikenal dengan kultur in vitro merupakan teknik memisahkan bagian dari tanaman seperti tunas terminal, tunas aksilar, daun, batang atau embrio serta menumbuhkannya di dalam media buatan dalam kondisi aseptik sehingga membentuk tanaman lengkap. Hal ini didasari oleh adanya daya totipotensi sel. Terbentuknya tanaman lengkap dari eksplan potongan bagian tanaman dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain: kondisi fisiologi eksplan, genotipe eksplan, media dasar, zat pengatur tumbuh serta lingkungan kultur seperti pencahayaan maupun kelembaban dan suhu ruangan.

Eksplan dari jaringan muda dengan titik tumbuh mempunyai peluang membentuk tanaman lengkap lebih besar dibandingkan dari jaringan tua, karena jaringan muda  bersifat meristematis dan aktif membelah, pada lingkungan tumbuh yang cocok akan terjadi  proliferasi dan organogenesis.
Tanaman herba pada umumnya  lebih mudah diregenerasikan dibandingkan tanaman berkayu atau  tanaman tahunan seperti pada tanaman cengkeh, pala, melinjo dll. Namun demikian pada tanaman berkayu tertentu seperti jati, cendana dan sukun tidak sulit diperbanyak secara in vitro, hal ini menunjukkan bahwa faktor genetik juga  menentukan kemampuan regenerasi tunas.
Media dasar yang biasa digunakan dalam kultur in vitro antara lain B5 (Gamborg), MS (Murashige dan Skoog), Vacin and Went, N6 dll, masing-masing media dasar mengandung unsur hara makro dan mikro serta kandungan vitamin berbeda,  sehingga masing-masing tanaman  memberikan respon berbeda   namun demikian sebagian besar tanaman memberikan respon yang optimal apabila dibiakkan pada media dasar MS.
Zat pengatur tumbuh yang kita kenal merupakan ekspresi dari gen, produk yang dihasilkan oleh tanaman, di dalam sel/jaringan   disebut dengan zat pengatur tumbuh (ZPT)  endogen. ZPT sintetis seperti Benzyl Adenin, thidiazuron, IBA dll, dibuat untuk memacu pertumbuhan tanaman baik pada tanaman budidaya maupun tanaman yang diinduksi dalam kultur in vitro. Di dalam kultur in vitro  untuk memacu proliferasi sel atau kumpulan sel agar terjadi dediferensiasi dan organogenesis menggunakan ZPT   dalam konsentrasi  sangat rendah. Tidak semua sel di dalam jaringan tanaman memberikan respon terhadap ZPT yang diberikan,   suatu sel hanya memberikan respon pada stadia tertentu dalam siklus pertumbuhan tanaman. Dengan demikian selain genotipe tanaman, kondisi fisiologi eksplan seperti kemampuan meristematis, juga stadia pertumbuhan dari sel atau jaringan juga sangat menentukan keberhasilan regenerasi tunas. Hal ini terkait dengan metabolisme sel, ketersediaan zpt endogen serta aktifitas gen-gen yang mengendalikan proses pertumbuhan dan perkembangan.
Bagian tanaman yang  aktif memproduksi ZPT endogen antara lain di bagian meristem batang, akar atau jaringan muda.  Zat pengatur tumbuh tanaman berperan  penting dalam mengontrol proses-proses biologi dalam  jaringan tanaman (Gaba, 2005). Perannya antara lain mengatur kecepatan pertumbuhan dari  masing-masing jaringan  dan mengintegrasikan bagian-bagian tersebut guna menghasilkan bentuk yang kita kenal sebagai tanaman. Aktivitas  zat pengatur tumbuh  di dalam pertumbuhan   tergantung dari jenis, struktur kimia, konsentrasi, genotipe tanaman serta fase fisiologi tanaman. Dalam proses  pembentukan organ seperti tunas atau akar ada interaksi antara zat pengatur tumbuh eksogen yang ditambahkan ke dalam media dengan zat pengatur tumbuh endogen yang diproduksi  oleh  jaringan tanaman (Gunawan,  1987). Penambahan auksin atau sitokinin ke dalam media kultur   dapat meningkatkan konsentrasi zat pengatur tumbuh endogen di dalam sel, sehingga menjadi “faktor pemicu” dalam proses tumbuh dan perkembangan jaringan.
Penggunaan zat pengatur tumbuh di dalam kultur jaringan tergantung pada tujuan atau arah pertumbuhan tanaman yang diinginkan. Zat pengatur tumbuh BA (Benzyl Adenin) paling banyak digunakan untuk memacu penggandaan tunas karena mempunyai aktivitas yang kuat dibanding  kinetin  (Zaer dan Mapes,  l982). BA  mempunyai struktur dasar yang sama dengan kinetin  tetapi lebih efektif karena BA mempunyai gugus benzil (George dan Sherington,  l984). Flick et al., 1993 menyatakan bahwa pada umumnya tanaman memiliki respon yang lebih baik terhadap BA dibandingkan terhadap kinetin dan 2-iP sehingga BA lebih efektif untuk produksi tunas in vitro.  Zat pengatur tumbuh 2-iP merupakan sitokinin yang mempunyai daya aktivitas lebih lemah dibanding sitokinin lainnya sehingga jarang digunakan. Sebagai contoh, pada kultur tanaman nilam penggunaan 2-iP menghasilkan tunas yang lemah dan kurus (Seswita et al., 1996).
Pembentukan tunas dapat dipacu dengan memanipulasi dosis auksin dan sitokinin eksogen. Kombinasi antara sitokinin dengan auksin dapat memacu morfogenesis dalam pembentukan tunas (Flick  et al.,  1993).  Zat pengatur tumbuh  2,4-D  berperan sebagai inisiasi kalus, dengan adanya BA maka  pembentukan  tunas adventif menjadi lebih  aktif (Flick  et al.,  1993). Penambahan jenis zat pengatur tumbuh yang berbeda dari golongan yang sama seperti kinetin, zeatin dan 2-iP ke dalam media yang sudah mengandung Benzyl adenin (BA) kadang dibutuhkan untuk  memacu morfogenesis agar lebih optimal (Gaba,  2005).
Di samping sitokinin BA atau kinetin, penggunaan thidiazuron (TDZ) dapat pula meningkatkan  kemampuan multiplikasi tunas.    Thidiazuron merupakan senyawa organik yang banyak digunakan dalam perbanyakan in vitro karena aktivitasnya menyerupai sitokinin (Singha and Bathia, l988).Thidiazuron berpotensi memacu frekuensi regenerasi pada kacang tanah (Arachis hipogaea) secara in vitro, dan memacu pembentukan tunas adventif pada beberapa jenis tumbuhan (Huetterman dan Prece, 1993) karena dapat menginduksi proses pembelahan sel secara cepat pada kumpulan sel meristem sehingga terbentuk primordia tunas (George dan Sherington, 1994).  Kombinasi BA dengan thidiazuron untuk  meningkatkan kemampuan proliferasi tunas antara lain pada tanaman Pyrus communis  (Singha dan Bhatia,  1988), tunas apel (Van Niew Kerk  et al.,  1986), Sukun (Supriati et al., 2005). Thidiazuron dalam konsentrasi rendah 1µM lebih efektif dalam pembentukan tunas adventif (Sankhla  et al., 1996).   Tidak semua tanaman memberikan respon proliferasi tunas yang optimal dengan adanya thidiazuron, contohnya pada tanaman belimbing Dewi  tidak diperoleh adanya peningkatan jumlah tunas. Thidiazuron yang ditambahkan cenderung meningkatkan tinggi tunas dan jumlah daun. Komposisi media terbaik untuk multiplikasi tunas pada belimbing Dewi  adalah media MS + zeatin 2 mg/l + IAA 0,5 mg/l (Supriati  et al.,  2006). Contoh lain tanaman yang memberikan respon lebih baik bila ditumbuhkan pada media   dengan penambahan tidiazuron antara lain pada tanaman Kencur (Lestari dan Hutami, 2005), thidiazuron 0,1 mg/l yang ditambahkan pada  media MS + BA 1, 3 dan 5 mg/l, mampu meningkatkan kemampuan multiplikasi tunas, demikian pula pada tanaman pisang.
Penggunaan sitokinin dan auksin dalam satu media dapat  memacu proliferasi  tunas karena ada pengaruh sinergisme antara zat pengatur tumbuh tersebut (Thorpe, 1987; Davies, 1995). Contohnya pada tanaman obat langka Pulasari (Alyxia stellata) kombinasi BA dan NAA menghasilkan tunas lebih banyak (Lestari dan Mariska  1994),  tanaman krisan menggunakan kombinasi BA 1 mg/l + GA 3 mg/l diperoleh faktor multiplikasi tunas tertinggi (Karim  et al., 2003), dan tanaman Tangguh menggunakan   kinetin 3 mg/l + IAA 10 mg/l (Lestari et al.,  1999).
Pembentukan tunas dari kalus padi indica dipengaruhi oleh faktor genetik, sehingga formulasi media untuk masing-masing varietas tidak sama. Alam  et al., (1998) menggunakan media MS + kinetin 2 mg/l + NAA 0,1 mg/l untuk padi indica kultivar Vaidehi. Purnamaningsih (2003) menggunakan media MS + BA 5 mg/l + IAA 0,8 mg/l untuk  pembentukan tunas dari kalus padi var Rojolele (Javanica), pada padi var Bengawan Solo dan Cisadane menggunakan media MS +BA 3 mg/l + IAA 0,1 m/l + zeatin 0,1 mg/l. Lestari dan Yunita  (2008)  mendapatkan formulasi media untuk regenerasi kalus padi varietas Fatmawati  yaitu MS + BA 2 mg/l + IAA 0,8 mg/l  + zeatin 0,2 mg/l. Pada tanaman Pule Pandak (Rauwolvia serpentina),    pembentukan tunas     dari eksplan kalus dapat diperoleh menggunakan media MS + BA 1 mg/l + zeatin 0,5 mg/l + maltosa 3 % (Yunita dan Lestari, 2008).
 Pembentukan embrio somatik
Tahapan  dalam proses  embriogenesis somatik meliputi tahap induksi kalus embriogenik, pendewasaan, perkecambahan, pembentukan kotiledon dan bibit somatik. Konsentrasi zat pengatur tumbuh yang  dibutuhkan tergantung pada tahap dalam perkembangan pembentukan embrio somatik. Pada tiap tahapan membutuhkan kombinasi auksin dan sitokinin yang berbeda. Pada tanaman Cendana   menggunakan media MS + 3,44 µM IBA + 0,44 µM BA (Alam et al., 1998) pada tanaman Pepaya untuk induksi kalus embriogenik adalah media MS + 2,4-D 20 mg/l dan untuk memproduksi embrio somatik dan bibit somatik adalah media MS + BA 0,4 mg/l + kinetin 0,1 mg/l (Hutami et al.,  2001). Pada tahap pembentukan embrio fase Globular dan Hati sering digunakan zat pengatur tumbuh sitokinin seperti benzyladenin (BA) atau yang mempunyai peran fisiologis yang sama yaitu thidiazuron (Husni  et al.,  l997) atau 2,4-D dan NAA apabila embrio somatik melalui fase kalus. Pada  tahap pendewasaan, konsentrasi sitokinin diturunkan dan untuk tahap perkecambahan sering ditambahkan Giberelin (GA3) (Mariska et al., 2001). Pembentukan embrio somatik pada tanaman Cendana dari eksplan embrio somatik dewasa menggunakan media MS + BA 1 mg/l, sedangkan  dari eksplan  embrio somatik muda menggunakan media MS + BA 2 mg/l. Perkecambahan embrio somatik membentuk tunas menggunakan media MS ½ + GA3  5 mg/l (Sukmadjaja,  2005).
 Induksi Kalus
Zat pengatur tumbuh untuk induksi kalus antara lain: 2.4-D, pikloram, dicamba, NAA dll. Hormon 2.4-D paling banyak digunakan karena aktivitasnya paling kuat. Kalus yang dapat diregenerasikan biasanya mempunyai struktur remah atau friabel, bentuknya seperti bulatan –bulatan berwarna putih atau kekuningan agak mengkilat.  Kalus dengan struktur tersebut sering disebut dengan kalus embrionik (embriogenik). Kalus yang lembek banyak mengandung air, warna putih pucat atau kecoklatan biasanya agak sulit diregenerasikan. Kalus ini tergolong jenis non embrionik.

Induksi Tunas Adventif
Tunas yang dihasilkan bukan berasal dari titik tumbuh aksilar atau terminal tetapi berasal dari jaringan tanaman seperti daun, petiole, tangkai bunga dll atau melalui tahap pembentukan kalus disebut dengan tunas adventif. Kemampuan kalus beregenerasi membentuk tunas selain dipengaruhi oleh zat pengatur tumbuh dan media tumbuh, dipengaruhi pula oleh ukuran  atau umur kalus. Kalus  yang baru terbentuk dengan ukuran berkisar antara 2-5 mm dan umur kurang dari 4 minggu, mempunyai peluang  lebih besar untuk diregenerasikan menjadi tunas dibandingkan yang sudah disubkultur beberapa kali.  Kalus yang masih muda,  daya mersitematis, kandungan zat pengatur tumbuh dan asam amino seperti prolin atau senyawa lain seperti spermin atau spermidin masih tinggi.
Berikut contoh beberapa tanaman serta komposisi media untuk induksi kalus dan tunas
Tabel 1. Komposisi media untuk induksi kalus dan tunas
Eksplan
Tanaman
Media induksi kalus

Media induksi tunas
Daun Daun dewa (Gynura procumbens) 2,4-D 0,1 mg/l + BA 0,1 mg/l + kinetin 2 mg/l  MS tanpa ZPT
Embrio sigotik Padi 2,4-D 3 mg/l + Casein hidrolisat 3 g/l BA 3 mg/l +  IAA 0,1 mg/l
Kalus Solanum
zeatin 2 mg/l  + IAA 0,1 mg/l. 
Kalus Padi indica 2,4-D 3 mg/l CH 3 g/l MS + kinetin 2 mg/l + NAA 0,1 mg/l
Kalus Padi Rojo Lele, Bengawan Solo, Cisadane 2,4-D 3 mg/l CH 3 g/l MS + BA 5 mg/l + IAA 0,8 mg/l
Kalus Fatmawati 2,4-D 3 mg/l CH 3 g/l BA 3 mg/l +IAA 0,8 mg/l + zeatin 0,2 mg/l.
Kalus Gandum 2,4-D 2 mg/l BA 1,5 mg/l + kinetin 0,5 mg/l 

 Sub Kultur
Sub kultur merupakan tahapan yang penting untuk mempercepat proliferasi tunas.  Waktu untuk melakukan sub kultur tergantung pada eksplan yang diregenerasikan. Selain itu media yang digunakan untuk sub kultur tergantung kondisi eksplan.  Zat pengatur tumbuh  yang digunakan bisa sama atau lebih tinggi dari konsentrasi awal.
 Induksi Akar
IBA atau IAA merupakan golongan zat pengatur tumbuh auksin yang sering digunakan untuk induksi akar.  Konsentrasi yang digunakan untuk tanaman herba berkisar antara  0,5 – 2 mg/l. Pada tanaman berkayu biasanya menggunakan IBA konsentrasi lebih tinggi, yaitu sekitar  2- 10 mg/l .
 Kesimpulan
Banyak faktor yang  mempengaruhi keberhasilan regenerasi tunas dan pembentukan planlet di dalam kultur in vitro. Untuk mengoptimalkan hasil yang diperoleh, maka perlu memperhatikan syarat-syarat yang diperlukan untuk perkembangan dan pertumbuhan eksplan baik kondisi fisiologi eksplan, media tumbuh, lingkungan tumbuh maupun perlakuan sub kultur.

No comments:

Post a Comment