Kultur jaringan atau dikenal dengan kultur in vitro merupakan
teknik memisahkan bagian dari tanaman seperti tunas terminal, tunas
aksilar, daun, batang atau embrio serta menumbuhkannya di dalam media
buatan dalam kondisi aseptik sehingga membentuk tanaman lengkap. Hal ini
didasari oleh adanya daya totipotensi sel. Terbentuknya tanaman lengkap
dari eksplan potongan bagian tanaman dipengaruhi oleh banyak faktor
antara lain: kondisi fisiologi eksplan, genotipe eksplan, media dasar,
zat pengatur tumbuh serta lingkungan kultur seperti pencahayaan maupun
kelembaban dan suhu ruangan.
Eksplan dari jaringan muda dengan titik tumbuh mempunyai peluang
membentuk tanaman lengkap lebih besar dibandingkan dari jaringan tua,
karena jaringan muda bersifat meristematis dan aktif membelah, pada
lingkungan tumbuh yang cocok akan terjadi proliferasi dan
organogenesis.
Tanaman herba pada umumnya lebih mudah diregenerasikan dibandingkan
tanaman berkayu atau tanaman tahunan seperti pada tanaman cengkeh,
pala, melinjo dll. Namun demikian pada tanaman berkayu tertentu seperti
jati, cendana dan sukun tidak sulit diperbanyak secara in vitro, hal ini menunjukkan bahwa faktor genetik juga menentukan kemampuan regenerasi tunas.
Media dasar yang biasa digunakan dalam kultur in vitro antara
lain B5 (Gamborg), MS (Murashige dan Skoog), Vacin and Went, N6 dll,
masing-masing media dasar mengandung unsur hara makro dan mikro serta
kandungan vitamin berbeda, sehingga masing-masing tanaman memberikan
respon berbeda namun demikian sebagian besar tanaman memberikan respon
yang optimal apabila dibiakkan pada media dasar MS.
Zat pengatur tumbuh yang kita kenal merupakan ekspresi dari gen,
produk yang dihasilkan oleh tanaman, di dalam sel/jaringan disebut
dengan zat pengatur tumbuh (ZPT) endogen. ZPT sintetis seperti Benzyl
Adenin, thidiazuron, IBA dll, dibuat untuk memacu pertumbuhan tanaman
baik pada tanaman budidaya maupun tanaman yang diinduksi dalam kultur in vitro. Di dalam kultur in vitro
untuk memacu proliferasi sel atau kumpulan sel agar terjadi
dediferensiasi dan organogenesis menggunakan ZPT dalam konsentrasi
sangat rendah. Tidak semua sel di dalam jaringan tanaman memberikan
respon terhadap ZPT yang diberikan, suatu sel hanya memberikan respon
pada stadia tertentu dalam siklus pertumbuhan tanaman. Dengan demikian
selain genotipe tanaman, kondisi fisiologi eksplan seperti kemampuan
meristematis, juga stadia pertumbuhan dari sel atau jaringan juga sangat
menentukan keberhasilan regenerasi tunas. Hal ini terkait dengan
metabolisme sel, ketersediaan zpt endogen serta aktifitas gen-gen yang
mengendalikan proses pertumbuhan dan perkembangan.
Bagian tanaman yang aktif memproduksi ZPT endogen antara lain di
bagian meristem batang, akar atau jaringan muda. Zat pengatur tumbuh
tanaman berperan penting dalam mengontrol proses-proses biologi dalam
jaringan tanaman (Gaba, 2005). Perannya antara lain mengatur kecepatan
pertumbuhan dari masing-masing jaringan dan mengintegrasikan
bagian-bagian tersebut guna menghasilkan bentuk yang kita kenal sebagai
tanaman. Aktivitas zat pengatur tumbuh di dalam pertumbuhan
tergantung dari jenis, struktur kimia, konsentrasi, genotipe tanaman
serta fase fisiologi tanaman. Dalam proses pembentukan organ seperti
tunas atau akar ada interaksi antara zat pengatur tumbuh eksogen yang
ditambahkan ke dalam media dengan zat pengatur tumbuh endogen yang
diproduksi oleh jaringan tanaman (Gunawan, 1987). Penambahan auksin
atau sitokinin ke dalam media kultur dapat meningkatkan konsentrasi
zat pengatur tumbuh endogen di dalam sel, sehingga menjadi “faktor
pemicu” dalam proses tumbuh dan perkembangan jaringan.
Penggunaan zat pengatur tumbuh di dalam kultur jaringan tergantung
pada tujuan atau arah pertumbuhan tanaman yang diinginkan. Zat pengatur
tumbuh BA (Benzyl Adenin) paling banyak digunakan untuk memacu
penggandaan tunas karena mempunyai aktivitas yang kuat dibanding
kinetin (Zaer dan Mapes, l982). BA mempunyai struktur dasar yang sama
dengan kinetin tetapi lebih efektif karena BA mempunyai gugus benzil
(George dan Sherington, l984). Flick et al., 1993 menyatakan
bahwa pada umumnya tanaman memiliki respon yang lebih baik terhadap BA
dibandingkan terhadap kinetin dan 2-iP sehingga BA lebih efektif untuk
produksi tunas in vitro. Zat pengatur tumbuh 2-iP merupakan
sitokinin yang mempunyai daya aktivitas lebih lemah dibanding sitokinin
lainnya sehingga jarang digunakan. Sebagai contoh, pada kultur tanaman
nilam penggunaan 2-iP menghasilkan tunas yang lemah dan kurus (Seswita et al., 1996).
Pembentukan tunas dapat dipacu dengan memanipulasi dosis auksin dan
sitokinin eksogen. Kombinasi antara sitokinin dengan auksin dapat memacu
morfogenesis dalam pembentukan tunas (Flick et al., 1993).
Zat pengatur tumbuh 2,4-D berperan sebagai inisiasi kalus, dengan
adanya BA maka pembentukan tunas adventif menjadi lebih aktif (Flick et al., 1993).
Penambahan jenis zat pengatur tumbuh yang berbeda dari golongan yang
sama seperti kinetin, zeatin dan 2-iP ke dalam media yang sudah
mengandung Benzyl adenin (BA) kadang dibutuhkan untuk memacu
morfogenesis agar lebih optimal (Gaba, 2005).
Di samping sitokinin BA atau kinetin, penggunaan thidiazuron (TDZ)
dapat pula meningkatkan kemampuan multiplikasi tunas. Thidiazuron
merupakan senyawa organik yang banyak digunakan dalam perbanyakan in vitro karena
aktivitasnya menyerupai sitokinin (Singha and Bathia, l988).Thidiazuron
berpotensi memacu frekuensi regenerasi pada kacang tanah (Arachis hipogaea) secara in vitro,
dan memacu pembentukan tunas adventif pada beberapa jenis tumbuhan
(Huetterman dan Prece, 1993) karena dapat menginduksi proses pembelahan
sel secara cepat pada kumpulan sel meristem sehingga terbentuk primordia
tunas (George dan Sherington, 1994). Kombinasi BA dengan thidiazuron
untuk meningkatkan kemampuan proliferasi tunas antara lain pada tanaman
Pyrus communis (Singha dan Bhatia, 1988), tunas apel (Van Niew Kerk et al., 1986), Sukun (Supriati et al., 2005). Thidiazuron dalam konsentrasi rendah 1µM lebih efektif dalam pembentukan tunas adventif (Sankhla et al.,
1996). Tidak semua tanaman memberikan respon proliferasi tunas yang
optimal dengan adanya thidiazuron, contohnya pada tanaman belimbing
Dewi tidak diperoleh adanya peningkatan jumlah tunas. Thidiazuron yang
ditambahkan cenderung meningkatkan tinggi tunas dan jumlah daun.
Komposisi media terbaik untuk multiplikasi tunas pada belimbing Dewi
adalah media MS + zeatin 2 mg/l + IAA 0,5 mg/l (Supriati et al., 2006).
Contoh lain tanaman yang memberikan respon lebih baik bila ditumbuhkan
pada media dengan penambahan tidiazuron antara lain pada tanaman
Kencur (Lestari dan Hutami, 2005), thidiazuron 0,1 mg/l yang ditambahkan
pada media MS + BA 1, 3 dan 5 mg/l, mampu meningkatkan kemampuan
multiplikasi tunas, demikian pula pada tanaman pisang.
Penggunaan sitokinin dan auksin dalam satu media dapat memacu
proliferasi tunas karena ada pengaruh sinergisme antara zat pengatur
tumbuh tersebut (Thorpe, 1987; Davies, 1995). Contohnya pada tanaman
obat langka Pulasari (Alyxia stellata) kombinasi BA dan NAA
menghasilkan tunas lebih banyak (Lestari dan Mariska 1994), tanaman
krisan menggunakan kombinasi BA 1 mg/l + GA 3 mg/l diperoleh faktor multiplikasi tunas tertinggi (Karim et al., 2003), dan tanaman Tangguh menggunakan kinetin 3 mg/l + IAA 10 mg/l (Lestari et al., 1999).
Pembentukan tunas dari kalus padi indica dipengaruhi oleh faktor
genetik, sehingga formulasi media untuk masing-masing varietas tidak
sama. Alam et al., (1998) menggunakan media MS + kinetin 2 mg/l +
NAA 0,1 mg/l untuk padi indica kultivar Vaidehi. Purnamaningsih (2003)
menggunakan media MS + BA 5 mg/l + IAA 0,8 mg/l untuk pembentukan tunas
dari kalus padi var Rojolele (Javanica), pada padi var Bengawan Solo
dan Cisadane menggunakan media MS +BA 3 mg/l + IAA 0,1 m/l + zeatin 0,1
mg/l. Lestari dan Yunita (2008) mendapatkan formulasi media untuk
regenerasi kalus padi varietas Fatmawati yaitu MS + BA 2 mg/l + IAA 0,8
mg/l + zeatin 0,2 mg/l. Pada tanaman Pule Pandak (Rauwolvia serpentina),
pembentukan tunas dari eksplan kalus dapat diperoleh menggunakan
media MS + BA 1 mg/l + zeatin 0,5 mg/l + maltosa 3 % (Yunita dan
Lestari, 2008).
Pembentukan embrio somatik
Tahapan dalam proses embriogenesis somatik meliputi tahap induksi
kalus embriogenik, pendewasaan, perkecambahan, pembentukan kotiledon dan
bibit somatik. Konsentrasi zat pengatur tumbuh yang dibutuhkan
tergantung pada tahap dalam perkembangan pembentukan embrio somatik.
Pada tiap tahapan membutuhkan kombinasi auksin dan sitokinin yang
berbeda. Pada tanaman Cendana menggunakan media MS + 3,44 µM IBA +
0,44 µM BA (Alam et al., 1998) pada tanaman Pepaya untuk induksi
kalus embriogenik adalah media MS + 2,4-D 20 mg/l dan untuk memproduksi
embrio somatik dan bibit somatik adalah media MS + BA 0,4 mg/l + kinetin
0,1 mg/l (Hutami et al., 2001). Pada tahap pembentukan embrio
fase Globular dan Hati sering digunakan zat pengatur tumbuh sitokinin
seperti benzyladenin (BA) atau yang mempunyai peran fisiologis yang sama
yaitu thidiazuron (Husni et al., l997) atau 2,4-D dan NAA
apabila embrio somatik melalui fase kalus. Pada tahap pendewasaan,
konsentrasi sitokinin diturunkan dan untuk tahap perkecambahan sering
ditambahkan Giberelin (GA3) (Mariska et al., 2001).
Pembentukan embrio somatik pada tanaman Cendana dari eksplan embrio
somatik dewasa menggunakan media MS + BA 1 mg/l, sedangkan dari
eksplan embrio somatik muda menggunakan media MS + BA 2 mg/l.
Perkecambahan embrio somatik membentuk tunas menggunakan media MS ½ + GA3 5 mg/l (Sukmadjaja, 2005).
Induksi Kalus
Zat pengatur tumbuh untuk induksi kalus antara lain: 2.4-D, pikloram,
dicamba, NAA dll. Hormon 2.4-D paling banyak digunakan karena
aktivitasnya paling kuat. Kalus yang dapat diregenerasikan biasanya
mempunyai struktur remah atau friabel, bentuknya seperti bulatan
–bulatan berwarna putih atau kekuningan agak mengkilat. Kalus dengan
struktur tersebut sering disebut dengan kalus embrionik (embriogenik).
Kalus yang lembek banyak mengandung air, warna putih pucat atau
kecoklatan biasanya agak sulit diregenerasikan. Kalus ini tergolong
jenis non embrionik.
Induksi Tunas Adventif
Tunas yang dihasilkan bukan berasal dari titik tumbuh aksilar atau
terminal tetapi berasal dari jaringan tanaman seperti daun, petiole,
tangkai bunga dll atau melalui tahap pembentukan kalus disebut dengan tunas adventif.
Kemampuan kalus beregenerasi membentuk tunas selain dipengaruhi oleh
zat pengatur tumbuh dan media tumbuh, dipengaruhi pula oleh ukuran atau
umur kalus. Kalus yang baru terbentuk dengan ukuran berkisar antara
2-5 mm dan umur kurang dari 4 minggu, mempunyai peluang lebih besar
untuk diregenerasikan menjadi tunas dibandingkan yang sudah disubkultur
beberapa kali. Kalus yang masih muda, daya mersitematis, kandungan zat
pengatur tumbuh dan asam amino seperti prolin atau senyawa lain seperti
spermin atau spermidin masih tinggi.
Berikut contoh beberapa tanaman serta komposisi media untuk induksi kalus dan tunas
Tabel 1. Komposisi media untuk induksi kalus dan tunas
Eksplan
|
Tanaman
|
Media induksi kalus
|
Media induksi tunas
|
Daun | Daun dewa (Gynura procumbens) | 2,4-D 0,1 mg/l + BA 0,1 mg/l + kinetin 2 mg/l | MS tanpa ZPT |
Embrio sigotik | Padi | 2,4-D 3 mg/l + Casein hidrolisat 3 g/l | BA 3 mg/l + IAA 0,1 mg/l |
Kalus | Solanum | zeatin 2 mg/l + IAA 0,1 mg/l. | |
Kalus | Padi indica | 2,4-D 3 mg/l CH 3 g/l | MS + kinetin 2 mg/l + NAA 0,1 mg/l |
Kalus | Padi Rojo Lele, Bengawan Solo, Cisadane | 2,4-D 3 mg/l CH 3 g/l | MS + BA 5 mg/l + IAA 0,8 mg/l |
Kalus | Fatmawati | 2,4-D 3 mg/l CH 3 g/l | BA 3 mg/l +IAA 0,8 mg/l + zeatin 0,2 mg/l. |
Kalus | Gandum | 2,4-D 2 mg/l | BA 1,5 mg/l + kinetin 0,5 mg/l |
Sub Kultur
Sub kultur merupakan tahapan yang penting untuk mempercepat
proliferasi tunas. Waktu untuk melakukan sub kultur tergantung pada
eksplan yang diregenerasikan. Selain itu media yang digunakan untuk sub
kultur tergantung kondisi eksplan. Zat pengatur tumbuh yang digunakan
bisa sama atau lebih tinggi dari konsentrasi awal.
Induksi Akar
IBA atau IAA merupakan golongan zat pengatur tumbuh auksin yang
sering digunakan untuk induksi akar. Konsentrasi yang digunakan untuk
tanaman herba berkisar antara 0,5 – 2 mg/l. Pada tanaman berkayu
biasanya menggunakan IBA konsentrasi lebih tinggi, yaitu sekitar 2- 10
mg/l .
Kesimpulan
Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan regenerasi tunas dan pembentukan planlet di dalam kultur in vitro.
Untuk mengoptimalkan hasil yang diperoleh, maka perlu memperhatikan
syarat-syarat yang diperlukan untuk perkembangan dan pertumbuhan eksplan
baik kondisi fisiologi eksplan, media tumbuh, lingkungan tumbuh maupun
perlakuan sub kultur.
No comments:
Post a Comment