PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Kemajuan
teknologi digital yang dipadu dengan telekomunikasi telah membawa komputer
memasuki msa-masanya, teknologi PC atau Personal Computer mulai diperkenalkan
sebagai alternatif pengganti mini computer. Dengan seperangkat komputer yang
dapat ditaruh di meja kerja (desktop), seorang manajer atau teknisi dapat
memperoleh data atau informasi yang telah diolah oleh komputer.
Tidak dapat disangkal lagi bahwa kepuasan pelanggan terletak pada kualitas pelayanan. Pada dasarnya, seorang pelanggan dalam memilih produk atau jasa yang dibutuhkannya, akan mencari perusahaan yang menjual produk atau jasa tersebut: cheaper (lebih murah), better (lebih baik), dan faster (lebih cepat). Di sinilah peranan sistem informasi sebagai komponen utama dalam memberikan keunggulan kompetitif perusahaan. Oleh karena itu, kunci dari kinerja perusahaan adalah pada proses yang terjadi baik di dalam perusahaan (back office) maupun yang langsung bersinggungan dengan pelanggan (front office). Dengan memfokuskan diri pada penciptaan proses (business process) yang efisien, efektif, dan terkontrol dengan baiklah sebuah perusahaan akan memiliki kinerja yang handal.
E-Commerce merupakan salah satu bentuk tranksaksi perdagangan paling banyak dipengaruhi oleh perkembangan teknologi informasi. Melalui transaksi perdagangan ini konsep pasar tradisional (penjual dan pembeli secara fisik bertemu) berubah menjadi sistem Telemarketing (jarak jauh menggunakan internet). E-Commerce pun telah mengubah cara konsumen dalam memperoleh produk yang diinginkan.
Alasan ini didasarkan kepada suatu realitas bahwa transaksi e-commerce yang memanfaatkan media internet sifatnya tidak hanya sebatas lingkup lokal atau nasional tetapi berjalan tanpa batas, sehingga menimbulkan choice of law, choice of forum dan masalah yurisdiksi
Landasan Teori
Pengertian kejahatan
Korporasi
Kejahatan korporasi
adalah tindak pidana yang dilakukan oleh dan oleh karena itu dapat dibebankan
pada suatu korporasi karena aktivitas-aktivitas pegawai atau karyawannya
(seperti penetapan harga, pembuangan limbah), sering juga disebut sebagai
“kejahatan kerah putih”. Sally. A. Simpson yang mengutip pendapat John
Braithwaite menyatakan kejahatan korporasi adalah "conduct of a
corporation, or employees acting on behalf of a corporation, which is
proscribed and punishable by law". Simpson menyatakan bahwa ada tiga ide
pokok dari definisi Braithwaite mengenai kejahatan korporasi. Pertama, tindakan
ilegal dari korporasi dan agen-agennya berbeda dengan perilaku kriminal kelas
sosioekonomi bawah dalam hal prosedur administrasi. Karenanya, yang digolongkan
kejahatan korporasi tidak hanya tindakan kejahatan atas hukum pidana, tetapi
juga pelanggaran atas hukum perdata dan administrasi. Kedua, baik korporasi
(sebagai "subyek hukum perorangan "legal persons") dan perwakilannya
termasuk sebagai pelaku kejahatan (as illegal actors), dimana dalam praktek
yudisialnya, bergantung pada antara lain kejahatan yang dilakukan, aturan dan
kualitas pembuktian dan penuntutan. Ketiga, motivasi kejahatan yang dilakukan
korporasi bukan bertujuan untuk keuntungan pribadi, melainkan pada pemenuhan
kebutuhan dan pencapaian keuntungan organisasional. Tidak menutup kemungkinan
motif tersebut ditopang pula oleh norma operasional (internal) dan sub-kultur
organisasional.
Kejahatan korporasi
mungkin tidak terlalu sering kita sering dalam pemberitaan-pemberitaan kriminil
di media. Aparat penegak hukum, seperti kepolisian juga pada umumnya lebih
sering menindak aksi-aksi kejahatan konvensional yang secara nyata dan faktual
terdapat dalam aktivitas sehari-hari masyarakat. Ada beberapa beberapa faktor
yang mempengaruhi hal ini.
Pertama,
kejahatan-kejahatan yang dilaporkan oleh masyarakat hanyalah
kejahatan-kejahatan konvensional. Penelitian juga menunjukkan bahwa aktivitas
aparat kepolisian sebagian besar didasarkan atas laporan anggota masyarakat,
sehingga kejahatan yang ditangani oleh kepolisian juga turut bersifat
konvensional. Kedua, pandangan masyarakat cenderung melihat kejahatan korporasi
atau kejahatan kerah putih bukan sebagai hal-hal yang sangat berbahaya,dan juga
turut dipengaruhi. Ketiga, pandangan serta landasan hukum menyangkut siapa yang
diakui sebagai subjek hukum pidana dalam hukum pidana Indonesia. Keempat,
tujuan dari pemidanaan kejahatan korporasi adalah lebih kepada agar adanya
perbaikan dan ganti rugi, berbeda dengan pemidanaan kejahatan lain yang
konvensional yang bertujuan untuk menangkap dan menghukum. Kelima, pengetahuan
aparat penegak hukum menyangkut kejahatan korporasi masih dinilai sangat minim,
sehingga terkadang terkesan enggan untuk menindaklanjutinya secara hukum.
Kelima, kejahatan korporasi sering melibatkan tokoh-tokoh masyarakat dengan
status sosial yang tinggi. Hal ini dinilai dapat mempengaruhi proses penegakan
hukum.
Kitab Undang-undang
Hukum Pidana Indonesia memang hanya menetapkan bahwa yang menjadi subjek tindak
pidana adalah orang persorangan (legal persoon). Pembuat undang-undang dalam
merumuskan delik harus memperhitungkan bahwa manusia melakukan tindakan di
dalam atau melalui organisasi yang, dalam hukum keperdataan maupun di luarnya
(misalnya dalam hukum administrasi), muncul sebagai satu kesatuan dan karena
itu diakui serta mendapat perlakuan sebagai badan hukum atau korporasi.
Berdasarkan KUHP, pembuat undang-undang akan merujuk pada pengurus atau
komisaris korporasi jika mereka berhadapan dengan situasi seperti itu.
Sehingga, jika KUHP Indonesia saat ini tidak bisa dijadikan sebagai landasan
untuk pertanggungjawaban pidana oleh korporasi, namun hanya dimungkinkan
pertanggungjawaban oleh pengurus korporasi. Hal ini bisa kita lihat dalam pasal
398 KUHP yang menyatakan bahwa jika seorang engurus atau komisaris perseroan
terbatas, maskapai andil Indonesia atau perkumpulan korporasi yang inyatakan
dalam keadaan pailit atau yang diperintahkan penyelesaian oleh pengadilan, diancam
dengan pidana penjara paling lama satu tahun 4 bulan: 1. jika yang bersangkutan
turut membantu atau mengizinkan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang
bertentangan dengan anggaran dasar, sehingga oleh karena itu seluruh atau
sebagian besar dari kerugian diderita oleh perseroan, maskapai, atau
perkumpulan.
Di Belanda sendiri,
sebagai tempat asal KUHP Indonesia, pada tanggal 23 Juni 1976, korporasi
diresmikan sebagai subjek hukum pidana dan ketentuan ini dimasukkan kedalam
pasal 51 KUHP Belanda (Sr.), yang isinya menyatakan antara lain:
1. Tindak pidana
dapat dilakukan baik oleh perorangan maupun korporasi
2. Jika suatu tindak
pidana dilakukan oleh korporasi, penuntutan pidana dapat dijalankan dan sanksi
pidana maupun tindakan yang disediakan dalam perundang-undangan sepanjang
berkenaan dengan korporasi dapat dijatuhkan. Dalam hal ini, pengenaan sanksi
dapat dilakukan terhadap korporasi sendiri, atau mereka yang secara faktual
memberikan perintah untuk melakukan tindak pidana yang dimaksud, termasuk mereka
yang secara faktual memimpin pelaksanaan tindak pidana dimaksud, atau korporasi
atau mereka yang dimaksud di atas bersama-sama secara tanggung renteng.
3. Berkenaan dengan
penerapan butir-butir sebelumnya, yang disamakan dengan korporasi: persekutuan
bukan badan hukum, maatschap (persekutuan perdatan), rederij (persekutuan
perkapalan) dan doelvermogen (harta kekayaan yang dipisahkan demi pencapaian
tujuan tertentu social fun data untuk yayasan).
Meskipun KUHP
Indonesia saat ini tidak mengikutsertakan korporasi sebagai subyek hukum yang
dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana, namun korporasi mulai diposisikan
sebagai subyek hukum pidana dengan ditetapkannya UU No.7/Drt/1955 tentang
Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.
Kemudian kejahatan
korporasi juga diatur dan tersebar dalam berbagai undang-undang khusus lainnya
dengan rumusan yang berbeda-beda mengenai “korporasi”, antara lain termasuk
pengertian badan usaha, perseroan, perusahaan, perkumpulan, yayasan,
perserikatan, organisasi, dan lain-lain, seperti :
• UU No.11/PNPS/1964
tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi
• UU No.38/2004
tentang Jalan
• UU No.31/1999 jo.
UU No.21 tahunn 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
• DLL.
Dalam literatur
Indonesia juga ditemukan pandangan yang turut untuk mewacanakan menempatkan
korporasi sebagai subyek hukum pidana. Seperti misalnya Prof. Dr. Wirjono
Prodjodikoro, SH, dalam bukunya “Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia”,
menyatakan : Dengan adanya perkumpulan-perkumpulan dari orang-orang, yang
sebagai badan hukum turut serta dalam pergaulan hidup kemasyarakatan, timbul
gejala-gejala dari perkumpulan itu, yang apabila dilakukan oleh oknum, terang
masuk perumusan pelbagai tindak pidana. Dalam hal ini, sebagai perwakilan, yang
kena hukuman pidana adalah oknum lagi, yaitu orang-orang yang berfungsi sebagai
pengurus dari badan hukum, seperti misalnya seorang direktur dari suatu
perseroan terbatas, yang dipertanggungjawabkan. Sedangkan mungkin sekali
seorang direktur itu hanya melakukan saja putusan dari dewan direksi. Maka
timbul dan kemudian merata gagasan, bahwa juga suatu perkumpulan sebagai badan
tersendiri dapat dikenakan hukuman pidana sebagai subyek suatu tindak pidana.
Penutup
Kesimpulan
Dalam menjalankan bisnis suatu perusahaan hendaknya tidak melakukan
kejahatan korporasi seperti penggelapan pajak. Seharusnya kewajiban
membayar pajak harus dilakukan dengan benar. Jangan mementingkan urusan
pribadi untuk medapatkan keuntungan yang lebih tanpa memikirkan etika
dalam berbisnis. Kemudian bagi perusahaan yang melakukan kejahatan
korporasi harus diberi hukuman serta sanksi yang tegas, agar menimbulkan
efek jera dan tidak terjadi lagi kesalahan yang sama.
No comments:
Post a Comment