Saturday, April 19, 2014

Teknologi Bioetanol dari Pati Sagu



Luas areal sagu di Indinesia sekitar 1,2 juta ha, atau 60 % areal sagu dunia. Potensi sagu di Indonesia belum dimanfaatkan secara optimal, hal ini ditandai dengan banyak tanaman sagu yang layak panen tetapi tidak dipanen akhirnya rusak.
Pati sagu dapat dijadikan sumber etanol melalui cara hidrolisis dan fermentasi. Perubahan pati menjadi gula pada umumnya dilakukan dengan menggunakan kombinasi pemanasan dan enzim. Enzim tahan panas, alpha-amilase dari dan glukoamilase dari kapang adalah kombinasi enzim yang banyak digunakan. Konversi pati sagu menjadi glukosa. Enzim dan merubah pati menjadi dekstrin dengan sedikit oligosakarida, dan dekstrin melalui proses fermentasi dengan bantuan ragi akan diubah menjadi bioetanol.

Beberapa permasalahan dan tantangan untuk memanfaatkan secara optimal potensi pati sagu dan minyak kelapa sebagai sumber energi, antara lain cara pengolahan empulur sagu menjadi tepung sagu, dan perubahan pati sagu menjadi bioetanol atau etanol, yang efisien dan praktis dioperasikan pada skala kelompok tani. Sekarang ini, ketersediaan bahan bakar minyak bumi untuk keperluan rumah tangga dan transportasi cukup memprihatinkan, sehingga diperlukan teknologi pengolahan bahan bakar nabati dari pati sagu pada skala kelompok tani serta pemanfaatannya sebagai bahan bakar mesin bensin dan bahan bakar kompor.
Pemanfaatan bahan bakar nabati tidak hanya sebagai substitusi energi minyak bumi yang makin terbatas, tetapi akan dapat mempercepat pengurangan pengangguran dan kemiskinan. Pengolahan etanol dari tepung sagu dengan dua tahap:
(1) Pengolahan empulur menjadi tepung sagu basah:
  • Pengolahan empulur sagu menjadi tepung sagu basah, diawali dengan penyediaan pohon sagu matang dalam bentuk gelondongan (Gambar 1), dan
  • Pengolahan empulur batang sagu untuk menghasilkan sagu basah dapat menggunakan alat pengolahan sagu mekanis sistem terpadu (Gambar 2), dengan sistem proses pemarutan empulur, ekstraksi, pemisahan tepung sagu basah dengan ampas sagu serta pengendapan tepung sagu berlangsung secara simultan dan kontinu (Gambar 3).
(2) Pengolahan tepung sagu basah menjadi bioetanol:
  • (a) Proses gelatinasi, liquifikasi dan sakarifikasi;
  • (b) fermentasi,
  • (c) destilasi, proses destilasi menggunakan alat destilator sistem tunggal skala laboratorium (Gambar 4),
  • (d) untuk menghasilkan bioetanol kadar 90-95 % dilakukan proses destilasi-dehidrasi menggunakan alat destilator-dehidrator sistem sinambung, dan
  • (e) peningkatan kadar bioetanol menjadi 96 % atau lebih, dilakukan proses destilasi-dehidrasi ulang dengan suhu pemanasan tangki penguapan berkisar 78-82 °C.

Pada proses destilasi hasil fermentasi pati sagu dengan menggunakan destilator tunggal skala laboratorium, kadar bietanol dari sagu tidak berduri lebih tinggi (51-53 %) dibanding dengan sagu berduri (32-35 %). Untuk optimalnya pemanfaatan sagu, sebaiknya pati yang berasal dari sagu berduri diarahkan untuk penyediaan pangan karbohidrat, sedangkan pati sagu tidak berduri lebih sesuai sebagai bahan baku bioetanol.
Bahan baku sagu dalam bentuk gelondongan (atas kiri), alat pengolahan sagu mekanis sistem terpadu (atas kanan), engolahan sagu secara mekanis untuk menghasilkan tepung sagu (bawah kiri),dan destilasi hasil fermentasi pati sagu dengan destilator skala laboratorium (bawah kanan).
(Abner Laya/Peneliti Balitka)

No comments:

Post a Comment